Kamis 02 Apr 2020 12:42 WIB

Daerah Usul Pusat Larang Mudik, Jokowi Minta Bantuan RT/RW

Pemerintah pusat tidak melarang tetapi mengimbau masyarakat menunda mudik.

Presiden Joko Widodo. (ilustrasi)
Foto: Abdan Syakura_Republika
Presiden Joko Widodo. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Silvy Dian Setiawan,

Dadang Kurnia

Baca Juga

Pemerintah sepertinya tidak akan melarang masyarakat untuk pulang ke kampung halaman, melainkan mengimbau penundaan mudik. Demi mencegah gelombang mudik pada Hari Raya Idul Fitri nanti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menawarkan penggantian hari libur nasional.

Artinya, hari libur resmi yang sebelumnya ditetapkan pada 24-25 Mei dan cuti bersama pada 22,26, dan 27 Mei bisa saja digeser ke tanggal lain setelahnya, menunggu redanya pandemi Covid-19. Namun, rencana ini perlu didiskusikan dengan kepala daerah.

"Untuk menenangkan masyarakat, mungkin alternatif mengganti hari libur nasional di lain hari untuk hari raya, ini mungkin bisa dibicarakan. Dan memberikan fasilitas arus mudik bagi masyarakat pada hari pengganti tersebut," jelas Presiden Jokowi dalam rapat terbatas, Kamis (2/4).

Tak hanya itu, pemerintah juga berencana menggratiskan sejumlah tempat wisata yang dimiliki daerah pada hari libur pengganti nanti. Skenaro ini, ujar Presiden, diharapkan mampu menenangkan masyarakat dan mencegah arus mudik terjadi. Pengurangan pergerakan manusia antarwilayah memang diyakini mampu mencegah penularan infeksi virus corona.

Presiden pun meminta masukan dari seluruh pemimpin daerah mengenai langkah antisipasi untuk mengurangi pergerakan orang di daerah. Jokowi mempersilakan jajarannya memberikan rancangan skenario terkait pencegahan arus mudik secara menyeluruh.

"Saya minta disiapkan skenario-skenario yang komprehensif, jangan sepotongsepotong atau satu aspek saja atau sifatnya sektoral atau kepentingan daerah saja, tapi dilihat secara utuh baik dari hulu di tengah dan di hilir," jelas Presiden.

Alih-alih melarang mudik, Jokowi meminta pengawasan kedatangan warga dari zona merah penyebaran Covid-19 diperketat, khususnya di level RT/RW. Alasannya, warga yang baru saja pulang dari zona merah, misalnya Jakarta, berstatus sebagai orang dalam pemantauan (ODP). Artinya, siapapun warga yang baru pulang dari ibu kota harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari setibanya di kampung halaman.

"Saya ingin mendorong agar ada partispasi di tingkat komunitas baik itu RW ataupun RT, sehingga pemudik yang pulang dari Jabodetabek bisa diberlakukan sebagai orang dalam pemantauan. Sehingga harus  melaksanakan isolasi mandiri," ujar Jokowi.

Jokowi juga mendukung adanya pembatasan pergerakan orang, sesuai dengan penetapan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dengan menjalankan protokol jaga jarak dengan disiplin, ujarnya, risiko penularan Covid-19 bisa ditekan dengan signifikan.

"Dengan kedisiplinan yang kuat, saya kira akan memebrikan pengaruh yg besar terhadap jumlah yang positif covid-19 ini. Kalau kita lihat dengan musim yang ada sekarang, saya kira cuaca juga sangat  mempengaruhi berkembangnya Covid-19 ini," jelasnya.

Permintaan gubernur

Pada Selasa (31/3) lalu, gubernur se-Jawa mengadakan rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendi. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, dalam rapat tersebut diusulkan agar ada pelarangan pagi pemudik saat pendemi ini. Terutama pemudik dari zona merah Covid-19 seperti DKI Jakarta.

"Kelihatannya tadi kita sepakat bagaimana DKI kalau pemudik tidak boleh pulang. Jadi di-close, orang dari luar juga tidak boleh masuk ke DKI dan sekitarnya," kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (31/3).

Sebagai zona merah Covid-19, Sultan berharap DKI Jakarta juga dikarantina. Ia juga meminta pemerintah pusat untuk menentukan wilayah saja yang menjadi zona merah guna mengambil kebijakan yang tepat dilakukan saat pendemi ini.  

Jika hal ini disepakati oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka harus ada jaminan hidup bagi seluruh masyarakat di daerah tersebut. Jaminan hidup dalam artian menanggung kebutuhan hidup selama adanya larangan mudik dan karantina ini, terutama kebutuhan sehari-hari.

"Berarti akan ada warga masyaraat yang mungkin kena PHK atau perlu dibantu untuk hidupnya. Jadi DKI harus menanggung 3,7 juta orang kalau itu dilakukan. Itu terserah pemerintah pusat, apakah nanti beban DKI atau beban bersama pemerintah pusat," ujarnya.

Walaupun begitu, larangan pemudik dan karantina ini masih dibahas lebih lanjut. Sehingga, masih akan ada rapat lain yang akan dilakukan sebelum menerapkan hal tersebut.

"Bagaimana juga, harus ada keputusan dalam mengendalikan transportasi umum maupun mobil pribadi. kalau pengertian memang tidak sePenuhnya ditutup, tapi bagi mereka yang tetap mau tinggal di Jakarta tapi tidak  punya penghasilan akan dijamin," jelasnya.

Terkait dengan pembatasan sosial skala besar yang sudah diberlakukan Presiden Jokowi, menurut Sultan tidak masalah. Pihaknya pun menunggu penjelasan lengkap terkait hal tersebut sebelum menerapkannya di DIY.

"Belum selesai, karena ini yang mimpin Menko PMK untuk memberikan rekomendasi dari pertemuan ini untuk nanti kebijakan yang akan dikeluarkan Bapak Presiden," kata Sultan.

Tanpa ada larangan mudik dari pemerintah pusat, arus mudik ke daerah  dari DKI Jakarta sudah dan terus berlangsung. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengakui terus bertambahnya warga setampat di perantauan yang melakukan mudik lebaran lebih awal, setelah mewabahnya virus corona atau Covid-19. Khofifah mengakui, mudik lebih awal tersebut tidak hanya melibatkan antarprovinsi, tapi juga mudik lokal, yakni akni antar kabupaten/ kota di Jatim.

Khofifah mengungkapkan jumlah penumpang bus yang masuk ke Jatim pada periode 16 hingga 29 Maret 2020 yang menembus angka 25.450 orang. Bahkan diakuinya, dalam sehari, jumlah penumpang bus yang masuk ke Jatim mencapai 7.635 orang.

"Kalau saat ini kira-kira 25.450 ditambah 15 ribuan (perkiraan tambahan 30-31 Maret) untuk pemudiknya," ujar Khofifah saat konferensi pers di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (31/3).

Artinya, lanjut Khofifah, apabila ditaksir, jumlah pemudik dari luar provinsi yang masuk ke Jatim sekitar 40 ribu orang, pada periode 16 hingga 31 Maret 2020. Sementara untuk pemudik lokal, Khofifah memperkirajan jumlahnya sebanyak 50.790 orang. Kebanyakan dari mereka merupakan driver ojek online hingga sopir taksi.

"Tapi juga ternyata dari pekerja tranportasi mereka semacam ojol, sopir taksi terkonfirmasi 169.300 yang sudah mudik 50.790. Beberapa pekerja transportasi publik yang sudah mudik duluan, mungkin mereka jadi driver ojol di mana kemudian pulang ke mana. Tapi ini Jatim ke Jatim itu ada 50.790 orang," ujar Khofifah.

Khofifah melanjutkan, di tengah mewabahnya vorus corona atau Covid-19, kepala desa atau lurah di Jatim pun diminta aktif menyikapi fenomena mudik lebaran lebih awal tersebut. Bahkan sebagian dari mereka, telah membuat peraturan kepada warganya yang baru saja pulang dari luar daerah untuk wajib lapor.

"Misal dari Surabaya pulang ke Jombang mereka harus lapor mulai RT/ RW/ Lurah. Sehingga tercatat mobilitas warganya," kata Khofifah.

Wajib lapor ini, kata Khofifah, sangat penting dalam antisipasi penyebaran Covid-19. Misalnya, ada warga yang terjangkit virus, maka bisa langsung dilacak oleh Dinas Kesehatan setempat, apakah ada penularan dari pemudik atau faktor lain. Atau mungkin pemudik itu positif maka bisa dilacak pergerakannya dan diperiksa orang sekitarnya.

"Itu juga untuk kepentingan tracing yang bisa lebih mudah dan cepat. Koordinasi sudah nyambung," kata Khofifah.

photo
Usulan Luhut dalam Penanganan Pandemi Covid-19 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement