REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo mengatakan, pembatasan sosial skala besar (PSSB) lebih longgar jika dibandingkan dengan karantina wilayah atau lock down.
"Karantina wilayah itu dalam praktik ekstremnya atau perbedaan yang paling nyata misalnya masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar-masuk dari wilayah yang dikarantina," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa (31/3).
Sedangkan pembatasan sosial skala besar, ujar dia, sedikit lebih longgar. Sebagai contoh meskipun sekolah atau tempat kerja diliburkan, namun orang-orang masih bisa lalu lalang.
Namun jika pemerintah menerapkan karantina wilayah maka mobilitas orang-orang dengan bebas tidak lagi bisa dilakukan. Meskipun demikian, Imam mengatakan terdapat masalah seberapa luas cakupan orang-orang yang dikarantina atau dibatasi.
Sebenarnya, ujar dia, saat ini sebagian masyarakat sudah ada yang menerapkan karantina tersebut, namun masih dalam lingkup kecil. Sebagai contoh karantina di suatu kelurahan maupun perumahan, yakni orang-orang tidak boleh keluar-masuk.
Menurutnya, pembatasan sosial skala besar dengan lock down tidak berbeda jauh. Hanya saja cakupan wilayah lockdown lebih besar yang disertai tidak boleh ada orang lalu lalang termasuk aktivitas masyarakat.
"Jadi pembatasan sosial skala besar itu bukan per wilayah tapi per unit kegiatan," katanya.
Terkait negara atau kelompok masyarakat yang sudah pernah menerapkan pembatasan sosial skala besar, Imam mengaku tidak mengetahui persis. Namun bisa saja hal tersebut sudah pernah dilakukan sehingga Indonesia melahirkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Meskipun demikian, sosiolog kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah 60 tahun silam tersebut mengatakan masih perlu adanya Peraturan Pemerintah (PP) dari UU Nomor 6 tahun 2018 tersebut agar lebih detail dalam menjelaskan. "Kita tunggu seperti apa PP dari UU Nomor 6 tahun 2018 tersebut," ucapnya.