Selasa 17 Mar 2020 18:25 WIB

Pemerintah Harus Siapkan Sejumlah Skenario Atasi Corona

Pemerintah jangan menutup mata dengan kemungkinan terburuk terkait corona.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Penyediaan Fasilitas Cuci Tangan. Fasilitas cuci tangan disediakan di beberapa titik jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Selasa (17/3). Fasilitas cuci tangan gratis ini sabagai upaya pencegahan penyebaran virus corona atau covid 19 di Malioboro. Pemerintah jangan menutup mata dengan kemungkinan terburuk terkait corona.
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Penyediaan Fasilitas Cuci Tangan. Fasilitas cuci tangan disediakan di beberapa titik jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Selasa (17/3). Fasilitas cuci tangan gratis ini sabagai upaya pencegahan penyebaran virus corona atau covid 19 di Malioboro. Pemerintah jangan menutup mata dengan kemungkinan terburuk terkait corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pemerintah harus membeberkan sejumlah skenario dalam menangani kasus Corona. Sejumlah skenario juga penanganan harus disampaikan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kebingungan. 

Abra menyebut pemerintah tidak boleh meniadakan kemungkinan terburuk yang harus diambil yakni lockdown. "Pemerintah harus menyiapkan sejumlah skenario dan jangan resisten terhadap risiko terburuk, dalam hal ini, lockdown," ujar Abra saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Selasa (17/3).

Baca Juga

Abra menilai pemerintah saat ini tengah dilema dalam mengambil keputusan. Pemerintah ingin menahan laju penyebaran Korona, namun di sisi sisi lain ingin mempertahankan kondisi ekonomi supaya tidak terlalu jatuh. Menurut Abra, faktor kesehatan dan keselamatan bukan persoalan yang main-main. Pemerintah seharusnya menempatkan aspek keselamatan rakyat di atas segalanya, termasuk aspek ekonomi.

Toh, lanjut Abra, penanganan yang tidak maksimal justru akan membuat penyebaran virus corona jenis baru atau Covid-19 semakin tak terkendali hingga sampai di sektor yang menjadi pusat perekonomian.

"Misalnya menyebar di wilayah industri, pabrik, artinya industrinya mau nggak mau ditutup dan biaya sosial untuk pengobatan jauh lebih besar, bahayanya kalau sampai korban makin banyak, fasilitas kesehatan tidak mencukupi, ruang isolasi, tenaga medis bisa lebih parah dan akan kalang kabut," ucap Abra.

Abra mendorong pemerintah Indonesia mencontoh ketegasan negara-negara lain yang telah memutuskan lockdown atau mengunci wilayah yang terpapar corona. Abra menilai model penguncian tersebut efektif menahan laju penyebaran Korona dan diharapkan mampu menormalkan kondisi seperti semula. Kata Abra, pemerintah belum memiliki kebijakan tegas dalam penanganan corona. 

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah hanya sekadar imbauan. Masyarakat yang bekerja di perusahaan swasta tak memiliki kemampuan untuk mengikuti imbauan presiden lantaran belum ada keputusan dari perusahaan masing-masing.

"Lockdown itu harus kebijakan pemerintah, semua orang di rumah, kalau kemarin itu kan imbauan presiden, itu tidak ampuh dan tidak punya legal standing untuk karyawan swasta, kalau perusahaan belum meliburkan ya tetap tidak bisa kerja dari rumah," kata Abra.

Hal ini, lanjut Abra, berbeda dengan pegawai BUMN atau ASN yang sudah mulai melakukan kebijakan bekerja dari rumah. Abra seyogyanya jangan melihat jumlah kasus sebagai dasar mengambil keputusan lockdown, melainkan juga dari sisi tren pertumbuhan kasus dan tingkat kematian. Berkaca dari pemerintah Malaysia yang memutuskan lockdown akibat adanya lonjakan kasus 120 positif Korona dalam sehari. Abra mendorong pemerintah berpikir lebih cepat dalam pengambilan keputusan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement