Bagaimana Barat masa kegemilangan Islam? Saksikan apa yang berlaku di tanah Andalusia. Suatu masa: 961-1002, Kordova di Andalusia memiliki 130.000 rumah; 21 kota pinggiran; 73 perpustakaan; sejumlah toko buku, masjid dan istana. Bermil-mil jalanan rata dengan penerangan saban malam begitu benderang dari lelampuan rumah-rumah penghuninya. Perlu “hanya” 700 tahun Inggris miliki fasilitas lampu serupa, itu saja baru satu lampu umum.
Bagaimana dengan Paris—saingan Inggris? Beberapa abad lebih terbelakang lagi. Siapa pun yang berjalan di luar rumah saat hujan, maka ia akan terjebak dalam kubangan lumpur setinggi pergelangan kaki. Inilah Paris. Inggris? Ketika orang Kordova terbiasa berendam di pemandian mewah, ilmuwan Oxford University memandang mandi adalah kebiasaan buruk penyembah berhala yang haram diikuti!
Itulah pendahulu kita dan mereka sepuluh abad lalu sebagaimana terungkap dalam karya Philip K Hitti, History of the Arabs, (2014:669).
Mehdi Nakosteen lewat karyanya, History Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education, menambahkan spektrum hikmah pada kita begini:
“Baik Kristen Latin maupun Kristen Yunani melihat kaum Muslim sebagai kaum kafir dan agama Islam sebagai kepercayaan pagan. Eropa Barat membutuhkan waktu hingga abad ke-12, atau 500 tahun setelah lahirnya Islam, untuk menghormati ilmu pengetahuan Islam, dan memerlukan tambahan waktu 500 tahun bagi dunia Muslim untuk mulai menguji konsekuensi-konsekuensi intelektual Renaisans Eropa, di mana kontribusi intelektualnya sebagian besar berasal dari mereka sendiri.”
Itulah masa kegemilangan; bukan dibayangkan belaka, apalagi buat disesali karena kini berbeda jauh yang diterima umat. Ini tentang perlunya memeluk ingatan bagi perjuangan esok. Termasuk perjuangan para pendahulu kita dengan berbilangan legasi bagi generasi berikutnya, seperti kecerdasan para pemimpin politik. Selalu aktual untuk memetik hikmah mereka.
Itulah pesona misykat yang niscaya di hati merambat. Pada Amr bin Ash; Muawiyah bin Abu Sufyan; Mughirah bin Syu’bah; Ziyad bin Abih, seyogianya kita menaruh respek. Respek yang tak tutupi sikap objektif pada segi lainnya, semisal pandangan politiknya tugas kita bukan buat "membersihkan" orang-orang mulia itu, sebagaimana juga bukan untuk mencercanya sepanjang waktu.
Cukuplah kita belajar eksperimen memilih pemimpin dengan mengangkat orang tak cakap sama sekali hanya gegara pikatan tampilan bersahaja polesan media. Kita lupa bagaimana Rasulullah tak memberi jabatan pada Abu Dzar, padahal kurang saleh apa shahabat ini? Kita benci orang yang bersedia memimpin hanya karena dianggap cari panggung. Padahal, dia sesungguhnya memiliki takdir buat memimpin.
Semoga dari pandemik corona ini ibrah kepemimpinan merasuk ke jiwa rakyat kita. Agar yang kapasitasnya cuma jelata dan awam bisa ukur diri. Agar yang jahil bisa kaca diri.
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".