REPUBLIKA.CO.ID, Oleh RR Laeny Sulistyawati, Antara
Informasi mengenai pasien positif riuh di media sosial. Banjirnya informasi tersebut membuat sejumah orang mengkhawatirkan kesehatannya. Ketika demam melanda beberapa orang kuatir apakah ia terkena virus corona jenis baru.
Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syharil meminta masyarakat tidak panik menghadapi Covid-19 dengan melakukan tes dan meminta surat bebas virus corona. "Jangan sampai panik semuanya ramai-ramai periksa corona dan minta bebas corona itu tidak ada. Bahkan yang tadi sembuh pun itu kami tidak membuat sertifikat bebas corona (Covid-19) ya, tidak ada sampai ke sana," kata dia dalam konferensi pers di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (16/3).
Menurut dia, masyarakat bisa memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan nasional untuk Covid-19. Tapi keputusan untuk mengambil sampel dengan swab bergantung kepada dokter.
Bahkan, kata dia, keputusan untuk melakukan rontgen, pengambilan darah atau melakukan CT scan juga harus melalui keputusan dokter yang menangani. Ia menjelaskan layanan pemeriksaan untuk corona di RSPI Sulianti Saroso masih dilakukan dalam jam kerja dan membutuhkan proses. Selain itu, kata Syahril, petugas medis dokter dan perawat juga memerlukan istirahat.
Ia mengingatkan masyarakat, jika mengalami gejala, seperti flu dan batuk, tidak perlu langsung memeriksakan diri sebagai terduga corona. Apalagi jika tidak memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri atau kontak dengan pasien positif.
"Saya kira bagus itu animo, tapi harus sadar betul perlu dilakukan pemeriksaan atau cukup di rumah sakit yang ada, di puskesmas yang ada, karena tidak semua flu itu positif Covid-19," kata dia.
Juru bicara penanganan virus corona, Achmad Yurianto, juga menegaskan kasus positif corona tidak semuanya harus menjalani isolasi di rumah sakit. Kemenkes memutuskan pasien yang positif tanpa gejala akan diisolasi di rumah secara mandiri.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB mengatakan isolasi mandiri penting dilakukan untuk dapat memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Dengan isolasi mandiri, maka interaksi antar orang akan terbatas sehingga penularan virus corona SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 dapat dikendalikan.
"Tujuan daripada isolasi ini adalah agar kita tidak berinteraksi atau bertemu dengan banyak orang karena kita tahu bahwa proses infeksi ini menular dari satu orang kepada orang lain dengan cepat," kata Ari.
Isolasi mandiri juga harus dilakukan karena transmisi atau penularan virus corona itu sudah bersifat lokal. Artinya penularannya bukan lagi hanya mencurigai orang yang datang dari luar negeri atau yang telah bepergian ke luar negeri.
Guru Besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran UI itu mengatakan isolasi mandiri cukup dilakukan selama 14 hari. Dua pekan juga merupakan masa inkubasi, yakni rentang waktu antara terjadinya infeksi virus dan munculnya gejala.
Isolasi mandiri dilakukan baik orang yang sehat maupun yang sakit. Yang sakit diharapkan segera memeriksakan kesehatan dan berobat ke dokter, serta berdiam diri di rumah karena berpotensi menularkan penyakit dan rentan terkena penyakit, karena pada saat inilah daya tahan tubuh lemah.
Dengan membatasi interaksi dengan orang lain, orang yang sakit juga dapat membantu mencegah penularan penyakit infeksi. Selama waktu tertentu, juga berupaya agar segera pulih dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Sementara, orang yang sehat terus menjaga kesehatan dengan pola hidup sehat dan bersih serta menjaga daya tahan tubuh tetap kuat agar tidak menjadi sakit. Isolasi mandiri sejalan dengan imbauan Presiden Joko Widodo untuk pencegahan penularan dan penyebaran Covid-19 dengan belajar, bekerja dan beribadah di rumah.
Ari menjelaskan dengan isolasi mandiri, maka diharapkan orang tidak saling berinteraksi. Karena ketika ada orang yang ternyata tanpa sadar memiliki Virus Corona SARS-CoV-2 berinteraksi dengan orang lain maka dia bisa menularkan kepada orang lain.
Bayangkan, jika orang lain itu tertular setelah berinteraksi dengan orang sebelumnya, kemudian pulang ke rumah, maka dia dapat menularkan penyakit itu kepada anggota keluarga seperti istri, suami dan anak. Jika proses interaksi tersebut tidak dibatasi, maka potensi rute penyebaran akan berlangsung demikian terus menerus, dan tidak dapat dipungkiri kemungkinan jumlah kasus terinfeksi virus corona itu makin bertambah.
Dengan demikian, langkah pemerintah untuk pembatasan pergerakan atau mobilitas penduduk terutama berkumpul di kerumunan menjadi tepat sebagai bagian menekan penularan dan mencegah penyebaran corona. Ari berharap seluruh masyarakat menaruh perhatian dan melakukan arahan pemerintah dengan benar, dan semua pihak termasuk perusahaan dan lembaga lain juga turut mendukung kebijakan pemerintah dalam mencegah Covid-19 menginfeksi lebih banyak orang.
Belum Ada Obat
Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan, hingga saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah virus corona atau obat yang mengobati virus ini meski ada yang mengklaim telah menemukannya. IDI hanya berpatokan pada temuan vaksin dan obat untuk virus ini dari organisasi kesehatan dunia (WHO).
Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih menjelaskan, berdasarkan kajian dunia medis dan WHO, vaksin dan obat untuk virus ini belum ada. "Kalau WHO mengatakan ditemukan dalam 18 bulan, kami ikut WHO saja lah. Jadi satu-satunya cara hanyalah mencegah," ujarnya.
Sebenarnya, dia menambahkan, IDI ingin vaksin ini bisa dibuat di sini. Karena itu, ia mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penghasil vaksin Bio Farma bisa memproduksi vaksin itu. Pihaknya juga mendorong media bertanya mengenai penemuan vaksin ini kepada Bio Farma.
"Bio Farma pasti sudah ahli apalagi di Indonesia sudah ada yang positif, jadi virus yang ada bisa dijadikan (riset penelitian). Barangkali kita bisa duluan (temukan vaksin)," katanya.
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Satgas Covid-19 PB IDI Dyah Agustina Waluyo menambahkan, selama WHO belum menyatakan telah tersedia vaksin untuk virus itu maka pihaknya enggan mengaku telah memiliki vaksin. Tak hanya itu, ia menegaskan hingga saat ini juga belum ada obat khusus untuk mengobati virus ini.
"Jadi semua diobati sesuai gejala. Kalau demam diberikan obat demam, pilek batuk diberikan obat pilek dan batuk dan kalau sampai gagal napas ya pakai ventilator," katanya.
Kendati demikian, ia menegaskan 99 persen kasus virus ini bersifat ringan. Untuk mencegah penularan virus ini, IDI mendorong masyarakat benar-benar menerapkan isolasi di rumah sesuai anjuran pemerintah.
"Jadi kita (harus) sepakat selama 14 hari ini di rumah, kecuali petugas medis atau aparatur sipil negara (ASN) yang memang punya tugas tertentu yang tidak bisa ditinggal. Insya Allah kasusnya (Covid-19) tidak melonjak, tapi tolong jangan meremehkan," ujarnya.