Jumat 13 Mar 2020 02:08 WIB

Figur Pemimpin Agresif Cenderung tak Disukai di Jateng

Pengamat menilai figur pemimpin agresif tak disukai di Jateng

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Foto udara kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah. Pengamat menilai figur pemimpin dengan gaya agresif cenderung tidak disukai di Jawa Tengah. Ilustrasi.
Foto: Antara/Aji Styawan
Foto udara kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah. Pengamat menilai figur pemimpin dengan gaya agresif cenderung tidak disukai di Jawa Tengah. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Figur pemimpin dengan gaya agresif cenderung tidak disukai di Jawa Tengah. Hal itu diungkapkan pengamat komunikasi politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Gunawan Witjaksana.

"Komunikasi yang 'njawani', yang memperhatikan etika itu lebih disukai dibandingkan tipe pemimpin yang meledak-ledak, apalagi yang menyerang dengan kasar. Itu justru tidak bisa dilakukan di Jawa Tengah," katanya di Semarang, Kamis (12/3).

Baca Juga

Menurut dia, pemimpin harus aktif melayani dan bekerja untuk rakyat dengan bahasa yang empati sesuai dengan kultur yang ada di Jateng. Kultur pemimpin di Jateng, kata dia, memang seperti itu.

Menurutnya di Indonesia juga beberapa tahun terakhir lebih menyukai pemimpin yang soft seperti sosok Joko Widodo yang pernah menjabat wali kota Solo. Gunawan menegaskan agar jangan sekali-kali memainkan isu mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan di Jawa Tengah saat pelaksanaan pilkada karena tidak akan berhasil.

"Sentimen agama tidak akan manjur. Beberapa kali muncul isu Jateng mau diputihkan, tapi mana coba? Tidak bisa. Kita lihat Solo, waktu pilwakot 2015 atau periode kedua FX Hadi Rudyatmo. Meski diterpa isu anjuran Muslim memilih Muslim, tapi pada akhirnya pejawat ini tetap menang," ujarnya.

Dosen sekaligus Ketua Stikom ini juga menyebut gaya pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat akan terus dipakai oleh bakal calon pemimpin. Hal ini memang secara ilmiah terbukti untuk menguatkan pesan-pesan tertentu.

"Social judgement artinya memperkuat pesan melalui simbol-simbol yang signifikan. Dengan cara mendekati tokoh-tokoh masyarakat atau menyandingkan diri dengan tokoh nasional seperti Soekarno atau Gus Dur untuk memperkuat pesan menggunakan sesuatu yang berasal di luar pesan itu sendiri," katanya.

Selain itu, Gunawan mengingatkan untuk tidak menyamakan pendekatan tiap generasi, khususnya pemilih milenial. "Kalau dulu zaman Soeharto, melakukannya dengan menempel poster di tiap RT. Saya pikir sekarang milenial tidak perlu itu ya. Paling efektif saya kira dengan media sosial. Bisa Instagram atau bahkan Tiktok yang sekarang ini booming," ujarnya.

Kendati demikian, ia mengingatkan untuk partai politik yang menggunakan media sosial dalam kampanye harus jelas identitasnya. "Harus jelas mana yang resmi dari parpol, mana yang bukan karena di media sosial ini selain kemudahannya juga rawan sekali hoaks yang bertebaran. Identitas yang jelas saya pikir bisa membuat masyarakat tahu akun mana yang harus dipercaya," jelas Gunawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement