Kamis 12 Mar 2020 22:50 WIB

Omnibus Law Ciptaker Dinilai Ancam Kedaulatan Pangan

Kejatuhan harga di dalam negeri memicu kelesuan ekonomi.

Rep: Mimi Kartika / Red: Agus Yulianto
Kontroversi Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja()
Kontroversi Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja()

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bidang pertanian dan pangan menolak draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Mereka menilai, beberapa pasal dalam empat Undang-Undang sektor pangan akan melonggarkan aturan impor pangan yang mengancam kedaulatan pangan Indonesia.

Lembaga yang menolak itu antara lain Bina Desa Sadajiwa, Indonesia for Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), FIAN Indonesia, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan, dan Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara.

"Dalam RUU Cipta Kerja ini pasalnya (Pasal 1 angka 7 UU Pangan) diubah dan sangat radikal. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan," ujar Advokasi Yayasan Bina Desa, Lodji dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (12/3).

Dia menuturkan, bunyi pasal yang ada di draf RUU Omnibus Law Ciptaker mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 1 angka 7 UU Pangan menyebutkan, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, dan cadangan pangan nasional, serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Sehingga, kata Lodji, impor pangan setara dengan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Kemudian tak ada syarat dan kondisi untuk bisa impor pangan, termasuk ketika hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional mencukupi.

"Artinya enggak perlu ada syarat kondisi kalau produksi dalam negeri mencukupi, cadangan pangan mencukupi, kapan saja impor. Kapan saja pelaku usaha bisa melakukan impor, jadi enggak perlu pakai persyaratan," kata dia.

Lodji mengatakan, itu hanya satu pasal yang direvisi sehingga bisa mengubah aturan impor pangan. Masih ada beberapa pasal lainnya yakni Pasal 14, Pasal 15, Pasal 36, dan Pasal 39 UU Pangan, kemudian Pasal 15, Pasal 30, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).

Dalam RUU Ciptaker, Pasal 101 UU Perlintan dihapus. Pasal itu mengatur tentang sanksi terhadap setiap orang yang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Sebab, Pasal 30 UU Perlintan terkait larangan itu diubah dalam RUU Ciptaker menjadi kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. Menurut Lodji, hal ini nantinya berdampak pada kejatuhan harga di dalam negeri yang memicu kelesuan ekonomi.

"Kita bukan antiinvestasi, tetapi bagaimana investasi tidak mengancam kesejahteraan rakyat, ada 27 juta petani yang punya anak istri, cucu, dan masa depan mereka," tutur Lodji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement