REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dr. Siti Nadia Tarmizi menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan angka kematian akibat demam berdarah dengue (DBD) terutama di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) tertinggi.
"Kondisi ini harus melihat situasi geografisnya kemudian kalau kita lihat Sikka ada daerah yang dekat dengan Ende yang artinya cukup jauh perlu waktu dua jam untuk merujuk pasien di Kota Maumere, itu menjadi pertimbangan sehingga ketepatan untuk menentukan kapan waktu dirujuk menjadi salah satu kunci," kata dr. Nadia dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Rabu (11/3).
Selain itu, kesiapan layanan kesehatan juga menjadi faktor penting. Beberapa rumah sakit dapat melayani pasien dengan jumlah yang terkendali dengan baik. Tapi jika terjadi lonjakan pasien maka akan muncul risiko."Tidak semua Puskesmas punya kemampuan yang sama tenaga kesehatannya sementara kasusnya sudah sangat banyak. Kedua, ada juga faktor masyarakat yang tidak mau dirujuk," kata dia.
Dalam kasus yang tidak mau dirujuk biasanya terjadi pada kasus anak, di mana terdapat keraguan untuk merujuk anak ke fasilitas yang lebih jauh saat kondisi pasien memungkinkan.
Menurut dia, terdapat kasus di mana pasien seharusnya sudah dirujuk tapi keluarga menolak mengakibatkan penyakit bertambah serius. Sampai dengan hari ini, Kemenkes sudah mencatat 17.820 kasus DBD di seluruh Indonesia dengan angka kematian mencapai 104 orang.
Kasus DBD terbanyak muncul di Provinsi Lampung dengan 3.423 kasus yang terjadi di enam kabupaten dan kota. NTT menempati posisi kedua untuk jumlah kasus dengan 2.711 kasus. Namun, NTT menempati posisi pertama untuk angka kematian dengan total 32 orang meninggal akibat DBD, 14 di antaranya berasal dari Kabupaten Sikka.