REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Arif Satrio Nugroho, Adinda Pryanka, Rizkyan Adiyudha
Batalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan disambut baik publik. Keputusan tersebut namun harus tetap dibarengi dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Padahal, pemerintah memutuskan menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena tidak lagi bisa menanggung beban defisitnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura bidang Agama dan sosial, Arwani Syaerozi, menyatakan dua hal penting terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS oleh MA. Utamanya, menurut dia, pemangku kebijakan BPJS kesehatan harus tetap memprioritaskan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
"Caranya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang selama ini dianggap tidak efisien dan tidak efektif," ujar dia dalam keterangannya, Selasa (10/3).
Dia melanjutkan, pokok perhatian kedua yang menjadi inti, ada dari sisi masyarakat. Masyarakat harus terus pro aktif membayar iuran BPJS sesuai dengan prosedur dan premi kelas yang juga sesuai.
"Dua hal ini penting, agar layanan kesehatan yang dikelola pemerintah melalui BPJS dapat dirasakan maksimal oleh masyarakat," kata Arwani.
Dia menegaskan, putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 terkait kenaikan iuran BPJS, dinilai meringankan masyarakat. Karenanya, ia menekankan agar setiap pihak, dari pemerintah dan masyarakat sendiri, bisa taat untuk menyetujui dan mengupayakan perbaikan dari segi pelayanan.
"Karena ini keputusannya resmi mengikat. Putusan MA ini juga meringankan masyarakat," kata Arwani.
Anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengharapkan tidak ada penurunan standar pelayanan BPJS meski iuran tak jadi naik. "BPJS sebagai operator harus tetap memberikan pelayanan yang secukupnya, yang memadai sesuai standar kepada masyarakat. Meskipun ini kenaikan tidak jadi diberlakukan," kata Saleh Partaonan Daulay.
MA juga diminta segera memberikan salinan putusan terhadap pemerintah dan BPJS Kesehatan sehingga tidak ada alasan tarif BPJS tetap naik. Sebab, kata Saleh, bisa saja muncul alasan pemerintah dan BPJS Kesehatan belum menerima salinan putusan MA yang menganulir kenaikan tarif tersebut.
Untuk menindaklanjuti putusan itu, pemerintah pun diminta kembali mencari solusi penutupan defisit, hingga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saleh berharap, jaminan kesehatan menjadi prioritas pemerintah, bukan hanya pembangunan infrastruktur.
Legislator PAN ini juga menyinggung opsi evaluasi undang-undang. Ia menyinggung pemberlakuan kembali otonomisasi jaminan kesehatan agar dikelola daerah yang dulu pernah diterapkan, yakni Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan pengawasan pusat.
"Dulu kan ada Jamkesda. Dulu justru banyak yang bisa dimanfaatkan. Malah biayanya lebih ringan. Ini bisa sebagai aternatif walau belum diuji akademik," ucap Saleh menegaskan.
Tambahan, Saleh meminta pemerintah untuk tidak berbicara untung rugi dalam pengelolaan jaminan kesehtan masyarakat. Menurutnya, prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial adalah kemanusiaan, bukan untung rugi.
"Berbeda dengan asuransi swasta yang pendekatannya tentu pada aspek bisnis," kata saleh lagi.
Dia mengimbau pemerintah untuk menyeimbangkan lagi pembangunan infrastruktur dan fisik dengan pembangunan SDM. Dia mengatakan, kesehatan adalah salah satu fondasi utama pembangunan SDM. Karena itu, alokasi anggaran yang dipakai untuk infrastruktur yang bukan prioritas bisa dialihkan ke bidang pelayanan kesehatan.
"Untuk sementara ya begitu. Tapi secara perlahan-lahan, harus dicari solusi yang lebih terpadu dan holisitik. Bisa juga dengan merevisi UU yang menjadi payung hukumnya," kata Saleh lagi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memberikan pengaruh ke seluruh masyarakat Indonesia. Artinya, ketika keputusan tersebut dibatalkan, ikut berdampak ke masyarakat sekaligus sustainabilitas dari BPJS Kesehatan sendiri.
Sri mengakui, keputusan Perpres 75/2019 memang tidak akan memuaskan semua pihak. Tapi, kebijakan itu sudah dipertimbangkan oleh pemerintah berdasarkan seluruh aspek.
"Pertama, aspek dari keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagaimana bisa tetap memberikan pelayanan dengan memiliki sustainabilitas," ujarnya di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Jakarta, Selasa (10/3).
Pertimbangan kedua, aspek keadilan. Sri menjelaskan, terdapat 96,8 juta masyarakat yang dianggap tidak mampu, ditanggung oleh pemerintah. Sementara itu, mereka yang mampu diminta juga untuk ikut bergotong-royong sebagai peserta mandiri yang terbagi menjadi tiga kelas.
Pembagian beban juga diberikan ke swasta serta TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sri menuturkan, semuanya dihitung dalam rangka untuk menjaga sustainabilitas sistem JKN sekaligus memastikan masyarakat yang membutuhkan layanan ini dapat terfasilitasi. "Kita melihat seluruh sistem," tuturnya.
Sri memastikan, pemerintah akan terus memantau dampak dari keputusan pencabutan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (9/3). Ia optimistis, tujuan kebijakan ini sama-sama baik. Tapi, apabila memang dibutuhkan ada kegotongroyongan, pihaknya perlu membuat rumusan yang baru lagi.
Sri menyebutkan, keputusan MA untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sampai di tangan Presiden Joko Widodo. Pemerintah, terutama Kemenkeu, pun segera mempelajari isi keputusan dan kemungkinan implikasinya kepada keuangan negara.
Hanya saja, Sri menekankan, masyarakat harus memahami bahwa konsekuensi dari pencabutan Perpres 75/2019 bersifat besar terhadap JKN. Sebab, apabila berbicara sebuah ekosistem JKN, pencabutan satu sistem dapat berdampak ke seluruh sistem.
Sri juga memastikan, pemerintah siap melakukan langkah-langkah mengamankan JKN secara berkelanjutan. "Kita terus coba membangun ekosistem JKN yang sehat dan berkeadilan, sustain," katanya.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Perpres 75/2019. MA menyatakan, pasal 34 ayat 1 dan 2 dalam regulasi itu bertentangan dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi di antaranya yang terdapat pada UUD 1945 serta UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.