REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mengkritisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerima kunjungan para pimpinan MPR pada Senin (9/3). Menurut ICW, saat ini pimpinan KPK terlalu sering bertemu dengan orang-orang politik.
"Pimpinan KPK saat ini memang tidak memahami riwayat pembentukan KPK. Lembaga anti korupsi itu dibentuk dengan konsep independen yg ketat, maka dari itu ketika membuat UU KPK dan kode etik pegawai KPK dilarang untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang sedang dalam penanganan perkara," tegas Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (9/4).
Tujuh Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (9/3) siang. Mereka ialah Bambang Soesatyo, Zulkifli Hasan, Ahmad Basarah, Hidayat Nur Wahid, Arsul Sani, Jazilul Fawaid, dan Fadel Muhammad.
Salah satu dari para pimpinan, yakni Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, sempat dimintai keterangannya oleh penyidik KPK terkait kasus dugaan suap terkait revisi alih fungsi hutan di Riau tahun 2014. Kasus suap ini bermula dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) nomor 673/2014 yang ditandatangani Zulhas pada 8 Agustus 2014.
SK tersebut tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektare; perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717.543 ha; dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 11.552 ha di Provinsi Riau. SK ini diduga menjadi pintu masuk terjadinya praktik suap alih fungsi hutan di Riau. SK Menhut tersebut diserahkan Zulhas kepada Annas Maamun selaku Gubernur Riau saat peringatan HUT Riau pada 9 Agustus 2014.
Dalam pidatonya di peringatan tersebut, Zulhas mempersilakan masyarakat melalui Pemprov Riau untuk mengajukan permohonan revisi jika terdapat daerah atau kawasan yang belum terakomodir dalam SK tersebut.