REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Nurul Ghufron mengaku tak ambil pusing dengan tudingan bahwa lembaga antirasuah tidak serius dalam menangkap para buron KPK. Diketahui, tak kunjung ditemukan, KPK sedang mempertimbangkan persidangan in absentia terhadap tersangka kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI, Harun Masiku masih yang belum diketahui keberadaannya.
"Dalam perspektif pihak lain kalau itu (persidangan in absentia) tidak serius, ya kami tidak komentar atas itu. Yang jelas kami akan lakukan sesuai dengan prosedur bahwa kalau sudah lengkap berkasnya, kami akan serahkan ke pengadilan dan kemudian akan kami sidangkan baik ada maupun tidak ada terdakwa," tegas Ghufron saat dikonfirmasi.
Ghufron menegaskan, saat ini KPK berkomitmen untuk terus memburu para tersangka yang berstatus buron. "Sebagaimana kami sampaikan kemarin, komitmen kami bahwa kami telah membentuk tim pencari yg spesial untuk mengejar DPO tersebut di Indonesia," tegasnya.
Dalam perkara ini, lembaga antirasuah KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan; mantan Caleg PDIP, Harun Masiku; eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina; dan Saeful (swasta). Harun diduga menyuap Wahyu dengan uang Rp900 juta. Dari keempat orang tersangka, hanya Harun yang belum ditangkap dan masih menjadi buron KPK.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menilai opsi pengadilan in absentia terhadap Harun Masiku (HAR) maupun Nurhadi (NHD) hanya sebagai modus pelarian bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengadilan in absentia terhadap buron memang sudah diwacanakan oleh KPK.
"Enggak bisa menghadirkan Harun, opsinya lalu in absentia. Pengadilan in absentia bukan suatu yang dilarang, tapi itu cuma pelarian KPK. Jadi enggak mau ngapa-ngapain ya sudah dengan apa yang ada dibuat in absentia. Jadi nanti itu modus semua," kata Haris, di Jakarta, Jumat.
Menurut Haris, munculnya opsi pengadilan in absentia untuk Harun Masiku maupun buronan KPK lainnya, termasuk mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi hanyalah modus yang coba dibangun oleh lembaga antirasuah itu, lantaran tidak kunjung berhasil melakukan penangkapan.
"Nanti dicari enggak ada, nanti in absentia. Jadi kayak menghakimi angin. Dianggap ada peristiwa, tapi pelaku enggak ada. Dibawa ke pengadilan, tapi orangnya enggak ada," kata Haris.
Haris menilai opsi pengadilan in absentia terhadap dua tersangka tersebut tidak perlu dilakukan. KPK, kata dia, seharusnya lebih fokus melakukan penegakan hukum dengan segera menangkap para DPO tersebut.
"Jadi terus ngapain. Jadi kayak bikin cerita saja. Padahal penegakan hukum harus konkret," ujar Haris pula.