Sabtu 07 Mar 2020 12:33 WIB

Eks Kepala BNPT: Radikalisme Lebih Bahaya dari Virus Corona

Mantan Kepala BNPT menilai radikalisme lebih sulit terdeteksi dibandingkan corona.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Ansyaad Mbai
Foto: Republika/Prayogi
Ansyaad Mbai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Ansyaad Mbai menilai radikalisme lebih berbahaya dari virus Covid-19 atau corona. Sebab menurutnya, radikalisme yang menyebar di banyak negara termasuk Indonesia sangat sulit terdeteksi.

"Virus corona sudah jelas angkanya, korbannya berapa persen. Kalau virus radikal ISIS ini korban bangsa kita ini," ujar Ansyaad di Hotel Ibis Tamarin, Menteng, Jakarta, Sabtu (7/3).

Baca Juga

Ansyaad menjelaskan, radikalisme berasal dari tiga hal. Pertama, dari kelompok yang mengklaim bahwa agamanya yang paling benar dan orang lain adalah kafir. "Kedua, kelompok yang merasa paling paham doktrin agama, sedangkan pemahaman kelompok lain salah," ucapnya.

Terakhir, karena doktrin yang menyebut bahwa pemahamannya yang paling benar, maka memiliki hak untuk melakukan sesuatu. Salah satunya seperti merusak. "Dia saking paham, mereka merasa punya otoritas menghakimi pemahaman orang lain yang berbeda atas nama Tuhan," katanya.

Hal senada juga diungkap oleh Haris Amir Falah, yang merupakan mantan narapidana teroris. Maka dari itu, ia menilai pemerintah melakukan langkah tepat dengan tidak memulangkan WNI eks ISIS.

"Pengalaman saya bahwa doktrin atau anti NKRI adalah paket wajib untuk menjadi radikalis," ujar Haris.

Haris menceritakan, untuk menghilangkan paham radikal dalam dirinya membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, resiko dari pemulangan akan sangat besar. "Itu timbul tenggelam. Saya mungkin baru sekitar 7 hingga 8 tahun, naik turun, sekarang lagi naik di moderatnya," ujar Haris.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan bahwa terdapat 1.276 warga negara Indonesia (WNI) terdata sebagai eks kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Data tersebut berdasarkan hasil koordinasi pihaknya dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88.

Dari 1.276 orang, hanya 297 yang tervalidasi memiliki paspor Indonesia. BNPT dan Densus 88 disebut Yasonna tengah berkoordinasi dengan pihak intelejen untuk melakukan penilaian atau asessment kepada mereka.

"Berkembang data yang awalnya 689 (orang), terakhir pengembngannya sampai hari kemarin dengan BNPT, Densus (sebanyak) 1.276," ujar Yasonna.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement