Jumat 06 Mar 2020 20:53 WIB

KPK Desak Presiden Revisi Perpres Olah Sampah Jadi Listrik

Perpres tersebut dinilai banyak kelemahan dan tak cukup operasional.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Pimpinan KPK periode 2019-2023 Nurul Ghufron.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pimpinan KPK periode 2019-2023 Nurul Ghufron.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listri Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.  Berdasarkan kajian KPK pada 2019, Perpres tersebut tidak cukup operasional dan memiliki banyak kelemahan.

"Rekomendasi KPK adalah revisi Perpres nomor 35 tahun 2018 agar investasi bisa berjalan," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Gedung KPK Jakarta, Jumat (6/3).

Baca Juga

Ghufron mengungkapkan terdapat dua persoalan selama ini. Pertama adalah pengelolaan sampah yang mencapai 64 juta ton per tahun dan  kedua penyediaan listrik untuk PLN. Namun, sambung Ghufron, dari kajian 'pengelolaan sampah untuk energi terbarukan', KPK menemukan persoalan aspek bisnis dan aspek teknologi  yakni terkait implementasi KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan usaha) yang kontrak bisnisnya terpisah antara Pemda-Pengembang dan Pengembang-PLN.

Akibat dari kontrak terpisah membuat proses berlarut dan berpotensi kepada praktik bisnis tidak adil. Selain itu, terdapat pula biaya-biaya pengumpulan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah yang memberatkan pemerintah daerah.

Bahkan, tarif beli listrik juga memberatkan PLN karena menggunakan sistem take or pay yakni berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian. "Kondisinya jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," katanya.

Padahal,  lanjut Ghufron, diperlukan biaya langsung sekitar Rp 2,03 triliun per tahun untuk pengolahan sampah yang dibayarkan ke badan usaha. Perkiraan subsidi yang harus dibayarkan ke PLN sebesar Rp1,6 triliun atas selisih harga tarif beli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang tinggi. Dengan demikian, pemerintah perlu memikirkan beban anggaran sekitar Rp3,6 triliun tersebut.

"Per tahun saja bisa Rp3,6 triliun kalau kemudian kontraknya 25 tahun tentu bisa diperhitungkan besarnya seberapa ya. Sementara reserve margin pasokan listrik PLN di Jawa Bali sudah mencapai 30 persen atau sudah tidak ada urgensi pasokan listrik baru di wilayah Jawa dan Bali, artinya tingkat kecukupannya sudah memenuhi atau optimal," katanya.

Sementara, dari aspek teknologi, saat ini belum ada teknologi yang terbukti mampu melakukan sampah menjadi listrik. Dari 12 lokasi yang tercantum dalam Perpres belum ada satu pun teknologi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang terbukti terimplementasi dari sampah menjadi energi listrik atau waste to electricity.

"Hingga akhir tahun 2019 belum satu pun PLTSa berhasil terbangun. Proses pembangunannya sudah selesai tapi belum sukses sebagaimana diharapkan mengentaskan sampah dan menghasilkan energi listrik," katanya.

Ghufron menekankan, KPK selalu mendukung program pemerintah untuk mendorong investasi. Namun, investasi yang didorong KPK adalah investasi yang membawa manfaat besar bagi negara dan masyarakat serta menghindari potensi praktik yang tidak adil karena menguntungkan salah satu pihak saja.

Oleh karenanya, KPK meminta pemerintah merevisi Perpres nomor 35 tahun 2018 dengan membuka opsi pengelolaan sampah menjadi energi atau tidak hanya sampah menjadi listrik yang memberatkan pemerintah.

"Dengan kebijakan waste to energy, persoalan sampah dapat diselesaikan dengan teknologi incinerator atau mengubahnya menjadi bricket atau bentuk lainnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement