REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Manager Humanitarian Diplomacy SEAHUM Member, M. Kaimudin, menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan advokasi terkait tindakan pemerintah India di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi terhadap rakyatnya, khususnya umat Muslim. Indonesia, menurut dia, harus berkontribusi menghentikan kekerasan komunal di sana.
"Apa yang bisa kita lakukan adalah, misalnya mendesak pemerintah melakukan advokasi dalam rangka menghentikan kekerasan komunal yang terus berangsung," kata dia dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (5/3).
Selain itu Kaimudin mengatakan, pemerintah Indonesia juga perlu meninjau ulang kerja sama dagang dengan India. Lebih lanjut, dia mengatakan, Indonesia juga mesti meninjau kembali kerja sama diplomatik dengan India sebagaimana sikap Indonesia kepada Israel atas tindakannya terhadap Palestina.
"Termasuk meninjau ulang hubungan diplomatik sebagaimana desakan-desakan kita terhadap Israel terkait Palestina," lanjut dia.
Menurut Kaimudin, India begitu percaya diri atas tindakan kekerasannya karena mempunyai hubungan yang mesra dengan dunia Barat. India pun berbeda dengan China yang meskipun kontra terhadap Barat tetapi negeri Tirai Bambu itu mempunyai hak veto.
"Cina punya hak veto, sementara India kalau misalnya ia memiliki hubungan yang bermasalah dengan simpul-simpul yang strategis mungkin dia akan berpikir ulang melakukan (kekerasan) itu," kata dia.
Direktur Advokasi Lembaga Studi Agama & Masyarakat Islam IAIN Langsa, Yogi Febriandi menuturkan, India di bawah Modi percaya diri melakukan kekerasan terhadap rakyatnya meski mendapat banyak kecaman dari dunia internasional, karena mereka punya daya tawar yang kuat. Daya tawar ini adalah kuatnya perekonomian India.
Bahkan Yogi menyebutkan, dua negara terkuat dari sisi stabilitas ekonomi adalah China dan India. Ketika China punya masalah dengan dunia Barat terkait perang dagang, India justru punya hubungan mesra dengan Barat.
"CEO-CEO penting dalam ekonomi itu dipegang oleh orang India, itu bukan simbol semata, tapi ini membuka mata Barat bahwa India menjadi mitra penting untuk mengalahkan dominasi China di Asia. Apalagi mereka sedang mengembangkan industri yang besar-besaran. Siapa yang bisa menguasai alam produksi, bisa berkuasa. Dan produksi sekarang sedang digarap India," katanya.
Komite Southeast Asia Humanitarian (SEAHUM) mendorong Pemerintah India mengadakan upaya perdamaian secara aktif terkait kerusuhan di New Delhi yang sudah berlangsung sejak 23 Februari 2020. Upaya yang bisa dilakukan berupa dialog konstruktif untuk menumbuhkan rasa toleransi dan pemahaman di antara kedua kelompok. "Hal ini menjadi penting sebagai bentuk usaha pencegahan konflik horizontal di masa mendatang," kata Presiden Komite SEAHUM Kamarul Zaman.
Kamarul menambahkan, SEAHUM juga mendorong Pemerintah India untuk menghukum secara tegas pelaku kekerasan serta perusakan terhadap rumah ibadah di India. Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki hak untuk melaksanakan ibadahnya dengan damai. Hal ini sesuai dengan United Nations Declaration of Human Rights pasal 18.
SEAHUM mengimbau, semua pihak yang terlibat dalam kerusuhan tersebut untuk dapat menahan diri terlibat aksi-aksi kekerasan demi terciptanya perdamaian. SEAHUM bersama aliansinya berkomitmen untuk membantu Pemerintah India dalam melanjutkan program-program pembangunan yang bertujuan untuk kemanusiaan di kantong-kantong kemiskinan di India.
"Media massa menyebutkan bahwa kerusuhan ini berawal dari adanya aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif terhadap umat Muslim di India. Kemudian, terdapat bentrokan di antara pendukung serta oposisi undang-undang ini," ungkap dia.
Namun, lanjut Kamarul, konflik ini bisa dikatakan merupakan salah satu eskalasi islamofobia yang telah terjadi di India beberapa tahun belakangan ini. Terdapat beberapa laporan kekerasan yang ditujukan kepada masyarakat Muslim. Dalam kerusuhan di New Delhi ini, tercatat 25 orang meninggal dunia serta 200 orang luka-luka.
Selain itu, banyak terdapat kerusakan kendaraan, rumah, toko dan masjid akibat tindakan pembakaran dan pelemparan batu dari ratusan massa. Respons pemerintah terhadap aksi kekerasan ini dinilai lambat dan gagal mencegah terjadinya korban jiwa.