Rabu 04 Mar 2020 22:37 WIB

Kesaksian Sesmenpora yang Disambut Sindiran Imam Nahrawi

Jaksa KPK mengkonfrontir sesmenpora dan Imam Nahrawi di sidang tipikor.

Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia ( KONI) dan gratifikasi, Imam Nahrawi saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (4/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia ( KONI) dan gratifikasi, Imam Nahrawi saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (4/3).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Sekertaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot Dewa Broto pada Rabu (4/3), dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan kasus dugaan Korupsi Dana Hibah pemerintah kepada KONI dengan terdakwa mantan Menpora, Imam Nahrawi. Dalam persidangan, Gatot mengungkapkan pernah diminta Rp 500 juta oleh sekretaris pribadi Imam Nahrawi, Nur Rochman alias Komeng.

Baca Juga

Permintaan itu terjadi pada Desember 2014, yang diduga sejumlah uang tersebut akan digunakan untuk biaya operasional Imam. Jaksa KPK Ronald Worotikan menanyakan kepada Gatot terkait apa yang disampaikan oleh Komeng saat itu kepada Gatot.

"Disampaikan saat itu adalah dia (Komeng) minta ini sudah akhir tahun di bulan Desember ada dana yang mungkin sisa di 2014 yang bisa digunakan untuk membackup operasional dari pak Menteri gitu," ungkap Gatot di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/3).

Gatot menuturkan, permintaan itu datang saat dirinya masih menjadi Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora. Gatot menilai permintaan tidak lazim, lantaran Deputi tidak memiliki kapasitas dalam pengelolaan uang.

"Ketika menyebut angka kami terus terang di Deputi V  pertama kami tidak melihat sebagai suatu kelaziman, kedua itu uang dari mana. Karena Deputi tidak megang uang apa-apa," ujar Gatot.

"Tahun berapa itu?," tanya Jaksa Ronald.

"Desember 2014, saya sebagai Deputi V," jawab Gatot

"Apakah Menteri sebelumnya pernah ada permintaan seperti itu," cecar Jaksa Ronald.

"Saya tidak tahu. Karena saya baru masuk Maret 2014," jawab Gatot.

Gatot mengaku tak tahu menahu ihwal kebutuhan tambahan operasional untuk Imam Nahrawi. Selain itu, Komeng juga tak pernah menyinggung permintaan untuk kebutuhan kunjungan kerja Menpora.

 

"Saya menyatakan kalau sampai jumlah disampaikan yaitu Rp500 juta, kami tidak ada uang. Apalagi seorang Deputi tidak memegang apa pun. Uang itu menempel di pejabat pembuat kepentingan masing-masing asisten Deputi," terang Gatot.

 

Mendengar jawaban Gatot saat itu, Komeng tak menyerah. Menurut Gatot, Komeng kembali meminta uang melalui pesan elektronik.

"Beliau SMS saya 'Pak Deputi apakah yang tempo hari kok belum dieksekusi' kemudian saya tanya yang mana, 'Yang komitmen dari deputi V', 'Oh belum. Coba koordinasi ke Chandra waktu itu'. Setelah itu Pak Komeng tidak lagi ngejar saya," ucap Gatot.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Gatot juga mengungkap adanya temuan janggal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) di Kemenpora terkait anggaran program Satlak Prima tahun 2014 hingga 2017.  Mendengar pernyataan Gatot, Jaksa Ronald menanyakan apakah ada dugaan pemotongan atau penyelewengan anggaran terkait dengan akomodasi, nutrisi serta vitamin untuk program Satlak Prima.

"Ya betul, intinya tidak sesuai peruntukkan. Jumlahnya saya lupa," jawab Gatot

Gatot juga mengakui bahwa dirinya sempat mendampingi anggota tiga BPK, Achsanul Qosasi saat memaparkan hasil audit internal serta arahan pasca tangkap tangan terhadap sejumlah pejabat KONI dan Kemenpora.

"Jadi acara khusus dalam konteks pak menteri menyuruh kami jajaran deputi, eselon 1 yang terkait, ada sesmen, ada deputi 4, dan juga para pimpinan KONI, KOI, dan Cabor untuk jadi peringatan mengingat pada Desember 2018 ada pernah OTT. Hal itu agar tidak terulang," terang Gatot.

Namun, kata Gatot, pemaparan hasil audit BPK itu dilakukan secara tertutup. Bahkan, amggota BPK, Achsanul Qosasi sempat meminta agar paparan hasil audit itu tidak bocor hingga keluar.

"Itu tidak dipaparkan secara terbuka,  jadi ada potongan-potongan untuk pemberian bantuan masing-masing cabor. Tapi itu hanya untuk konsumsi intern, karena waktu itu Pak Achsanul bilang dipastikan di ruangan ini tidak boleh ada wartawan dan tidak boleh ada satupun yang membocorkan ke pihak luar," terangnya.

Mendengar beberapa pernyataan Gatot kepada Majelis Hakim dan Jaksa KPK, Nahrawi tak terima dengan beberapa hal. Salah satunya terkait permintaan Gatot Dewa Broto untuk mundur dari jabatannya sebagai Sesmenpora.

Menurut Nahrawi, Gatot seakan lupa akan etikanya sebagai Sesmenpora. Ia pun menyindir Gatot yang justru sering mencari panggung saat sedang ada kegiatan di Istana Negara.

"Karena kebiasan bapak memang, bapak sangat dekat dengan pejabat-pejabat, dan memang sering melupakan menterinya dan bahkan mencari panggung sendiri. Dan itu juga yang menjadi penilaian saya," sindir Nahrawi ke Gatot di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (4/3)

Masih dalam persidangan, Nahrawi tak menampik bila dirinya meminta Gatot untuk mundur dari jabatannya sebagai Sesmenpora. Gatot diminta mundur sesaat berlangsungnya acara pengukuhan kontingen Indonesia di Istana Negara pada 02 Oktober 2018.

Menurut Nahrawi, permintaan Gatot untuk mundur dari jabatannya, salah satunya karena tidak pernah melaporkan serta mengarahkan tugas Menpora. Padahal, hal itu merupakan tugas seorang Sesmenpora.

"Sebetulnya itu adalah akumulasi dari banyak hal, termasuk saat di istana negara Bapak (Gatot) tidak melaporkan ke saya, tugas saya apa, dan ketika saya sampai Istana Negara, bapak enjoy ngobrol dengan pejabat lain padahal bapak adalah sesmenpora, yang mestinya memberi tahu tugas saya, tugas saya apa di sana, dan bapak tidak melaporkan itu," ujar Nahrawi.

Mendengar pernyataan Nahrawi, Gatot langsung membantahnya. Gatot menegaskan, dirinya sudah melaporkan apa saja yang harus disiapkan serta dilakukan  Nahrawi saat acara pengukuhan kontingen Indonesia di Istana Negara.

"Saya pernah melaporkan ke Bapak pada sebelum acara, tidak mungkin, saya tidak melaporkan," tegas Gatot.

"Tidak pernah, saya mengingat betul laporan bapak itu setelah acara, dan itu pun setelah saya tegur karena memang kedekatan bapak dengan pejabat dan bahkan melupakan menterinya sendiri. Dan itu juga jadi penilaian saya," Nahrawi menanggapi jawaban Gatot

"Ada beberapa hal yang perlu saya laporkan kenapa saya kemudian saya minta Sesmenpora mundur karena ada beberapa hal yang ternyata sebatas laporan saja. Beberapa tahun saya minta tapi gajadi-jadi, TVPORA sudah diresmikan tapi tidak jalan padahal bapak Sesmenpora bapak yang mengerti rumah tangga," tambah Nahrawi.

"Saya mengangkat juru bicara juga tidak difungsikan tapi bapak menjadi juru bicara terus menerus dan bahkan beberapa hal yang masih dirapatkan di istana negara yang tidak boleh diumumkan oleh siapapun bapak mengumumkan sendiri termasuk dengan pak Tono (Tono Suratman) masalah gaji PNS, bapak tidak izin ke saya tapi setelah rapat baru memberi tahu ke saya. apakah begitu etika birokrat?," tambah Nahrawi lagi.

Dalam perkara ini, Imam Nahrawi didakwa telah menerima uang suap sebesar Rp11,5 miliar. Selain suap, Imam juga didakwa menerima gratifikasi Rp 8,6 miliar.

Atas perbuatannya dalam suap, Imam didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sementara terkait gratifikasi, Imam didakwa Pasal 12B UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

In Picture: Sidang Lanjutan Imam Nahrawi di Pengadilan Tipikor

photo
Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia ( KONI) dan gratifikasi, Imam Nahrawi menyimak keterangan saksi saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (4/3). - (Republika/Putra M. Akbar)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement