Sabtu 29 Feb 2020 20:12 WIB

RUU Ciptaker, KLHK: Usaha Langgar Amdal Kena Sanksi

RUU Ciptaker tak menyampingkan prinsip-prinsip lingkungan hidup dan kehutanan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Gita Amanda
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar saat diwawancari wartawan di Hotel Sahid Yogyakarta, Sabtu (29/2).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar saat diwawancari wartawan di Hotel Sahid Yogyakarta, Sabtu (29/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar memastikan, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) tak menyampingkan prinsip-prinsip lingkungan hidup dan kehutanan. Ia menjamin, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) menjadi bagian dari standar sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup.

Ia mengatakan, perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal tidak dilaksanakan penanggung jawab usaha. "Karena dia berbunyi standar, maka nanti di dalam prosesnya dalam usaha kalau tidak sesuai standar dia akan kena, kena sanksi," ujar Siti kepada wartawan di Yogyakarta, Sabtu (29/2).

Baca Juga

Ia menjelaskan, RUU Omnibus Law Ciptaker mengatur standar persetujuan lingkungan sedari awal, salah satunya amdal. Sementara yang berlaku saat ini, standar-standar itu diatur dalam dokumen amdal dan bukan undang-undang.

Menurut Siti ketika amdal maupun standar lain tak terpenuhi, maka perizinan berusaha dapat dibatalkan. KLHK pun memperkuat pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atau kegiatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu.

"Caranya, kan kita punya Badan Litbang yang pindah ke Brin, Badan Riset Inovasi. Itu sebagian dibawa ke sana ok. Tetapi ada elemen-elemen kontrol untuk Direktorat Jenderal seperti misalnya laboratorium, untuk logam berat dan lain-lain, ada standar lingkungan juga itu kita satukan lalu kita develop kita kembangkan menjadi badan pengendalian standar instrumen dan peralatan," jelas Siti.

Menurut dia, pengawasan itu sampai tiga lapis. Pertama, pengawasan pembinaan yang meliputi monitor administrasi sampai laporan limbah yang harus terpantau masing-masing Direktur Jenderal di lingkungan KLHK.

Kedua, pengawasan reguler seperti petugas terus melakukan patroli di lokasi usaha. Ketiga, pengawasan impromptu di mana pengawasan ini dilakukan sebelum adanya tindakan penegakan hukum. "Misalnya pengaduan yang serius atau ada masalah yang cukup berat perlu diinvestigasi memang," kata dia.

Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker disebutkan peraturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah maupun pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan ke menteri atau kepala daerah. Sehingga, lanjut Siti, pengawasan maupun pelaksanaan persetujuan lingkungan lebih rinci akan disusun dalam peraturan menteri.

"Nah omnibus law ini perintahnya Bapak Presiden nggak bisa cuma RUU udah jadi undang-undang doang. Pada saat ini terjadi maka operasinya harus berjalan jadi sambil jalan RUU-nya, peraturan-peraturan pemerintahnya peraturan-peraturan menterinya untuk pelaksanaannya juga disiapkan," jelas Siti.

Diketahui, draf RUU Omnibus Law Ciptaker berisi ketentuan UU Nomor 32 Tahun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah direvisi, baik beberapa pasal yang dihapus maupun diubah bunyinya. Selain itu, ada ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement