REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, jumlah akumulasi curah hujan di hulu relatif lebih tinggi atau 1,4 kali dibandingkan wilayah hilir. Akan tetapi, tren curah hujan ekstrem lebih dominan di wilayah hilir karena hujan terjadi dalam waktu yang singkat atau kurun waktu pendek.
"Tapi yang akumulasi lebih sedikit di hilir, itu dicurahkan dalam waktu yang singkat sehingga curah hujan ekstrem di hilir justru lebih sering terjadi. Di hulu relatif lebih jarang terjadi hujan ekstrem," ujar Dwikorita di kantor BMKG, Jakarta Pusat, Selasa (25/2).
Dengan demikian, kata dia, mitigasi banjir dengan tata air harus terintegrasi dari hilir ke hulu. BMKG merekomendasikan tata kelola air wilayah hulu harus mampu menahan air lebih lama.
Sementara wilayah hilir, BMKG merekomendasikan pengelolaan tata air dengan sistem hidrolik atau infrastruktur bangunan air diperkuat. Tak hanya itu, pengelolaan banjir harus sejalan dengan pengelolaan kekeringan untuk menjaga ketahanan air ketika musim kemarau.
Sehingga, lanjut Dwikorita, perlu sinergi antarpihak dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Apalagi, berdasarkan data historis dan analisa klimatologis BMKG sejak 1866 sampai 2019 serta analisis proyeksi perubahan iklim, kondisi fenomena cuaca dan iklim ekstrem makin sering terjadi dengan intensitas makin tinggi.
Hal yang sama diproyeksikan juga akan terjadi di masa yang akan datang yaitu periode 2020-2040. Sehingga, pemerintah dan pihak terkait harus melakukan mitigasi untuk mencegah potensi bencana dari fenomena cuaca dan iklim ekstrem tersebut.