REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) mendeteksi adanya aset yang diduga hasil dari korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) para tersangka dalam kasus Jiwasraya yang disimpan di luar negeri. Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus (Dir Pidsus) Kejakgung Febrie Adriansyah mengungkapkan, tim penyidikan mendeteksi penyebaran aset para tersangka itu, tersebar di 10 negara.
"Tapi kita tidak sebutkan negaranya, ya. Karena kalau disebutkan, nanti geser (berpindah) mereka (asetnya)," ujar Febrie, saat ditemui wartawan di Kejakgung, Selasa (25/2).
Febrie mengatakan, aset dari hasil dugaan korupsi dan TPPU itu, tak cuma milik satu tersangka. Tetapi, kata dia, milik beberapa nama tersangka yang kini sudah dalam penahanan Kejakgung. "Ini belum bisa kita buka (punya) siapa. Yang jelas keseluruhan," katanya.
Febrie menjelaskan, aset-aset dari hasil tindak pidana itu, terklasifikasi ke dalam beberapa bentuk. Febrie mengungkapkan, ada aset milik tersangka yang dititipkan kepada perorangan. Maupun, bentuk lain ke dalam perusahaan, atau perbankan. Febrie meyakini, aset-aset luar negeri para tersangka tersebut bersumber dari hasil korupsi dan TPPU Jiwasraya, yang kini dalam penyidikan Kejakgung.
Namun, tim penyidikan, kata Febrie, belum dapat melakukan sita langsung terhadap aset ilegal para tersangka yang berada di negeri asing itu. Sebab kata dia, Kejakgung, membutuhkan kordinasi lintas lembaga dan kementerian untuk mengidentifikasi. Meski begitu, Febrie meyakinkan, tim penyidikan memburu aset-aset milik para tersangka itu, untuk ganti rugi keuangan negara.
"Yang jelas akan kita selamatkan. Uang itu, dari sumber Jiwasraya. Kita kejar, dan kita kembalikan ke Jiwasraya (negara)," katanya.
Penyidikan dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya di Kejakgung, sudah menetapkan enam tersangka. Mereka yaitu, tersangka Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto. Ketiga tersangka itu, dari kalangan pebisnis yang dituduh Kejakgung, menikmati sumber keuangan Jiwasraya. Sedangkan tiga tersangka lain, yakni para mantan petinggi Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Keenam tersangka itu, dalam tahanan sejak Januari 2020.
Kejakgung, menjerat keenam tersangka itu, dengan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 UU Tipikor 20/2001 juncto Pasal 55 KUH Pidana. Khusus tersangka Benny dan Heru, Kejakgung berencana menambahkan sangkaan dengan Pasal 3, 4, atau 5 UU TPPU 8/2010. Selain sudah menetapkan enam tersangka, Direktorat Pidsus Kejakgung, juga menyimpan sedikitnya 10 nama lain dalam daftar cekal yang berpotensi menjadi tersangka.
Terkait aset para tersangka, sampai saat ini, kata Febrie, Kejakgung sudah banyak melakukan penyitaan. Mulai dari penyitaan perusahaan tambang batubara, dan 93 unit apartemen, serta ratusan bidang tanah. Termasuk, penyitaan barang dan surat berharga, serta perhiasan, pun kendaraan mewah, juga rumah. Penyidikan, juga menyita sejumlah kepemilikan saham dari para tersangka. Febrie mengungkapkan, sementara ini, ditaksir aset sitaan mencapai Rp 11 triliun.
Namun, taksiran aset sitaan tersebut, belum cukup, dan fluktuatif karena menyertakan aset berupa saham. Sementara angka kerugian negara dalam kasus Jiwasraya, menurut hasil penyidikan, sudah mencapai Rp 17 triliun. Kerugian negara itu, meningkat dari yang semula diyakini Kejakgung di angka Rp 13,7 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Januari lalu menyampaikan, Rp 13,7 triliun tersebut, potensi kerugian negara yang menjadi nilai gagal bayar klaim Jiwasraya.
BPK pun mengatakan, penyimpangan pengelolaan Jiwasraya, membuat BUMN asuransi itu mengalami defisit keuangan mencapai Rp 27,2 triliun. BPK menjanjikan, akan memastikan besaran pasti kerugian negara dalam kasus Jiwasraya, pada akhir bulan ini. Laporan BPK tentang kerugian Jiwasraya, menjadi patokan resmi dalam rencana dakwaan Kejakgung, dalam dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya.