Selasa 25 Feb 2020 08:35 WIB

Pengamat: Sejak Awal, Koalisi Mahathir- Anwar Setengah Hati

Pengamat politik dari Unand menilai Mahathir tak ingin Anwar jadi PM.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Andi Nur Aminah
 Anwar Ibrahim berjabat tangan dengan Mahathir Mohamad.
Foto: Malaysia Information Ministry via AP
Anwar Ibrahim berjabat tangan dengan Mahathir Mohamad.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat politik dari Universitas Andalas Najmuddin M Rasul mengatakan Anwar Ibrahim akan sulit menjadi Perdana Menteri Malaysia setelah koalisi dengan Mahathir Muhammad di Pekatan Harapan retak di tengah jalan.

Sejak awal, Najmuddin memang melihat koalisi Mahathir dan Anwar ketika menumbangkan petahana Najib Razak setengah hati. "Koalisi Mahathir dengan Anwar ini setengah hati. Mahathir tak ingin Anwar jadi PM," kata Najmuddin, Selasa (25/2).

Baca Juga

Najmuddin melihat Mahathir memang selama ini memang punya andil besar dalam percaturan politik Malaysia. Mahathir dan Anwar dulu sama-sama berada di Partai United Malays National Organisation (UMNO).

Di saat Anwar ada kans sebagai PM Malaysia, pada 1999, dia mengatakan, Mahathir membuang Anwar karena ketidakcocokan pandangan politik. Mahathir menjerat Anwar dengan isu sodomi yang membuat mantan Wakil Menteri Malaysia ke tujuh itu harus masuk penjara.

Setelah Anwar masuk penjara, Mahathir membantu melenggangkan Abdullah Ahmad Badawi yang juga berasal dari UMNO. Usai disingkirkan, Anwar pindah ke Partai Keadilan Rakyat. Di mana ia lebih memilih bergerak di jalur oposisi.

Najmuddin mengatakan, Mahathir kembali menggandeng Anwar ketika ia ingin menumbangkan Najib Razak. Koalisi Mahathir dan Anwar berhasil menumbangkan Razak dan kini menjerat Razak dengan kasus korupsi 1 MDB.

Setelah berhasil kembali ke singasananya sebagai PM Malaysia, Mahathir sempat berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada Anwar paling lama setelah dua tahun dirinya menjabat. Dan untuk meyakinkan Anwar, Mahathir mengangkat istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail sebagai Wakil Perdana Menteri ke 12.

Mahathir memundurkan diri sebagai PM pada Senin (24/2) kemarin. Di mana surat pemunduran dirinya diterima oleh Yang-di-Pertuan Agong Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah. Tapi Yang-di-Pertuan Agong memutuskan Mahathir harus tetap memimpin pemerintahan Malaysia hingga pemerintahan baru dibentuk.

Keputusan tersebut datang di tengah rumor bahwa Mahathir berencana membentuk koalisi baru tanpa Anwar Ibrahim, yang dijanjikan untuk menggantikannya sejak awal ia kembali terpilih menjadi perdana menteri pada Mei 2018. Najmuddin melihat sinyal arah dukungan akan melemah terhadap Anwar. Karena Mahathir mendapat sokongan 130 kursi di parlemen dari total 220 kursi.

"Jika Yang-di-Pertuan Agong melantik Mahathir sebagai PM ke-9 itu berarti Mahathir memimpin Malaysia bukan sokongan koalisi Pakatan Harapan (PH). Dengan demikian, Anwar tidak akan bisa jadi PM," ucap Najmuddin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement