REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Plt Jubir KPK) Bidang Penindakan Ali Fikri menjelaskan mekanisme penghentian sebuah kasus yang ditangani KPK di tahap penyelidikan. KPK era Firli Bahuri cs, kata Ali, masih mengevaluasi secara keseluruhan aturan baik di bidang pencegahan, penindakan, SDM dan lainnya berdasarkan laporan tahunan terakhir.
Dari evaluasi itu, ada sekitar 366 surat perintah penyelidikan yang menjadi tunggakan. Sementara itu ada sekitar 133 surat perintah penyidikan yang tengah ditangani KPK sejak tahun 2008 sampai 2019.
"Tunggakan itu pengertiannya masih berjalan. Nah, kemudian dari situ kami lakukan evaluasi, kenapa sih ini? Perkara yang mana? Kok bisa sampai bertahun-tahun? Jadi surat penyelidikannya masih hidup," kata dia dalam diskusi di Jakarta, Ahad (23/2).
"Makanya setelah dievaluasi oleh tim, membuat laporan hasil penyelidikan dilaporkan ke atasannya Direktur Penyelidikan kemudian dilaporkan ke Deputi Penindakan, kemudian dilaporkan ke Pimpinan untuk dikaji ulang. Jika memang tidak ada bukti permulaan cukup maka prosesnya dihentikan," tutur Ali dalam diskusi di Jakarta, Ahad (23/2).
Ia menegaskan, kasus yang dihentikan merupakan penyelidikan tertutup. Biasanya, penyelidikan tertutup dilakukan KPK sebelum menggelar operasi tangkap tangan.
Kasus-kasus tersebut, kata dia, masih teregister sebagai sprinlidik dari 9 tahun sampai 8 tahun lalu. Adapun, kata Ali, dalam operasi tangkap tangan pun ada beberapa metode dilakukan, yakni surveillance dan penyadapan.
Saat melakukan tangkap tangan pun tidak semudah membalikan telapak tangan karena bergantung dengan kondisi di lapangan. "Bisa jadi dapat, bisa jadi enggak. Jadi saat itu bisa tidak tertangkap tangan, belum terjadi tangkap tangan," kata dia.
"Karena di lapangan kita tidak menemukan misalnya. Itu surat perintah penyelidikannya masih ada, makanya kan ini udah lama mau diapakan ini terkait kepastian hukumnya. Kan gitu. Makanya kita kaji, kita kaji, karena tidak mempunyai bukti permulaan yang cukup, ya untuk kepastian hukum maka dihentikan. Jadi sekali lagi itu belum ketemu, belum tertangkap terduga pelakunya," kata Ali.
Ketika KPK belum berhasil menangkap pelaku, memang ada beberapa penyelidikan yang akhirnya berubah menjadi psnyelidikan terbuka. "Artinya orangnya kami temui langsung, kami panggil, kami klarifikasi, kami BAP dan sebagainya," kata dia.
"Banyak kasus seperti itu, awalnya kami penyelidikan tertutup, tetapi tidak berhasil menemukan tangkap tangan, misalnya uangnya, makanya kami penyelidikan terbuka kami panggil, kami klarifikasi, kalau memang bisa kami jadikan tersangka. Banyak yang seperti itu. Yang 36 ini memang kemudian tidak ditemukan orang-orangnya," terang Ali.
Nantinya, sambung Ali, penyelidikan tertutup yang dihentikan bisa dikaji menjadi bahan pencegahan oleh KPK. "Kalau kemudian misalnya kan saya sebutkan ada kementerian, APH, DPR/DPRD, ini bisa jadi bahan informasi bahwa kemudian pelakunya tidak ditemukan kan ada informasi awalnya, bisa jadi pencegahan, sistem perbaikannya dimana nih. Misalnya terkait pengadaan barang dan jasa, tender, kan kita bisa masuk ke sana," ujar Ali.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan penghentian 36 perkara di penyelidikan sudah sesuai dengan Pasal 44 Ayat 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 44 Ayat 3 berbunyi, "Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan"
Sementara di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 44 tidak mengalami perubahan, baik penghapusan, penambahan maupun pengurangan.
"Jadi, aturannya jelas. KPK boleh menghentikan penyelidikan," ujar Alex di Gedung KPK Jakarta, Jumat (21/2) lalu.