REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi sejak 20 Desember 2020. Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, partainya akan mempertanyakan alasan penghentikan kasus-kasus tersebut dalam rapat kerja (Raker).
"Makanya kita perlu data-datanya dari KPK, dalam raker terdekat, saya mau kupas itu, 36 apa saja? Apa alasannya? Kasus apa saja? Jadi, kalau asumsi, ya, susah," ujar Habiburokhman saat dikonfirmasi, Ahad (23/2).
Ia berharap KPK dapat menjelaskan alasan dihentikannya 36 kasus tersebut. Agar masyarakat tidak berprasangka bahwa ada pelemahan di komisi antirasuah tersebut.
"Kita mau ke substansi penyelesaian hukumnya seperti apa, semangat kami bagaimana kasus-kasus yang dilaporkan atau ditemukan oleh KPK bisa disidik, dibongkar hingga tuntas," ujar Habiburokhman.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menegaskan proses penghentian 36 perkara dugaan korupsi di tingkat penyelidikan telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Penyelidik tidak mempunyai alat bukti cukup.
"Sebetulnya penghentian penyelidikan itu di UU KPK juga sudah mengatur, pasal 44 ini saya bacakan 'Karena penyelidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, sebagaimana dimaksud ayat satu penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan'. Jadi jelas, itu di undang-undang KPK lama," ujar Alex.
Alex mengatakan penghentian penyelidikan terhadap 36 perkara tersebut bukan berdasarkan keputusan sepihak dari pimpinan KPK, melainkan telah melalui proses evaluasi terlebih dahulu dengan penyelidik dan juga deputi penindakan KPK.
"Penyelidik yang menelaah, yang melakukan penyelidikan. Dia yang tahu, apakah sudah cukup bukti atau belum untuk dilakukan ekspose, untuk ditindaklanjuti di proses penyidikan. mereka yang evaluasi, evaluasi itu disampaikan ke deputi penindakan," ujar dia.