Jumat 21 Feb 2020 21:07 WIB

Pasal Pers di Omnisbus Law Dipermasalahkan, Ini Kata Golkar

Golkar menerima masukan Dewan Pers terkait pasal pers yang masuk RUU Omnibus Law.

Rep: Ali Mansur/ Red: Karta Raharja Ucu
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Meutya Hafid.
Foto: Republika/Fergi Nadira
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Meutya Hafid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Golkar siap menerima masukan dari Dewan Pers dan asosiasi pers lainnya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam RUU itu sejumlah pihak keberatan dengan dua pasal dalam perubahan Undang-undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

"Partai Golkar tidak melihat adanya semangat pembatasan pers di dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Partai Golkar justru melihat adanya penguatan," ujar Politikus Partai Golkar, Meutya Hafid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/2).

Menurut Ketua Komisi I DPR RI itu, pada rencana revisi pasal 18 ayat 1, UU Pers No 40 Tahun 1999, setiap orang yang menghalang-halangi kemerdekaan pers akan dikenakan sanksi, dengan jumlah yang lebih besar daripada sebelumnya. Tapi ia mempersilakan Dewan Pers untuk menyampaikan keberatannya terkait rencana pasal pers di dalam RUU sapu jagad tersebut.

"Partai Golkar juga berpandangan tidak perlu ada kekhawatiran pemerintah akan menurunkan Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat membatasi kebebasan pers," tambahnya.

Sebab, lanjut Meutya, dalam Omnibus Law Cipta Kerja, sesungguhnya disebutkan pemerintah dapat mengeluarkan PP hanya dalam mengatur besaran denda dan bentuk sanksi administratif. Khususnya,  yang ada di pasal 18 ayat 3 UU Pers, yang merujuk pasal 9, yaitu pers harus berbadan hukum di Indonesia.

"Bagi Partai Golkar semangat ini justru penguatan terhadap pers di dalam negeri," tegas Meutya.

 

Selain itu, kata Meutya, poin pasal 18 ayat 3 UU Pers pada Omnibus Law Cipta Kerja justru mengalihkan pelanggaran oleh perusahaan pers dari sanksi pidana menjadi sanksi administratif. Partai Golkar berpandangan, hal itu justru lebih melindungi perusahaan pers sekaligus bentuk keberpihakan terhadap pers.

 

Karena itu, Meutya meminta Dewan Pers serta asosiasi lembaga pers dapat lebih bijak dalam menjalankan tugasnya sebagai pilar demokrasi. Partai Golkar meyakini pers harus ditinggikan perannya sebagai pilar demokrasi. "Meski demikian, pers tidak boleh anti kritik dan perbaikan," pintanya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi  mengatakan pihaknya menolak pasal-pasal pada Omnibus Law Cipta Kerja yang berpotensi mengekang kebebasan pers, seperti pada orde baru silam. Maka secara tegas menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers.

"Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi admintstratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12," tegas Imam Wahyudi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Menurut Imam, Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara untuk Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang Wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka.

Padahal, kata Imam, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebobasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regutatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. "Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers," jelasnya. (Ali Mansur)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement