Jumat 21 Feb 2020 04:02 WIB

Milad Said Prof Quraish, Tetaplah Membumikan Alquran

Membumikan Alquran berarti mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Nashih Nasullah*)

“Jika kalian menginginkan ilmu, maka selamilah Alquran, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.”

(Abdullah bin Mas’ud RA)

 

Sanah Hilwah sidi Prof M Quraish. Selamat ulang tahun yang ke-76. Tahniah yang saya sampaikan memang  telat beberapa hari, semestinya tepat pada 16 Februari lalu, saya menyampaikan tahniah, saat hadratak memeringati hari jadi. Tetapi, keterlambatan ini insya Allah tak sedikit pun mengurangi takzim saya ke hadratak, Prof. Semoga hadratak tetap dikarunia kesehatan dan semangat untuk berbagi ilmu kepada umat, istiqamah ‘membumikan’ Alquran.

Sebuah istilah, yang mulai saya kenal sejak masa-masa di pesantren dulu, akhir dekade 90-an dan menjadi bahan diskusi di forum-forum kajian mahasiswa, semasa menimba ilmu ilmu di bumi kinanah, Mesir. Dari istilah membumikan Alquran ini pula akhirnya saya termotivasi berinteraksi lebih banyak lagi dengan karya-karya hadratak. 

Istilah ‘membumikan’ Alquran bagi publik Indonesia memang terbilang baru, mencuat ke permukaan sejak beliau menulis karya monumental pada 1994 dengan tajuk  'Membumikan Alquran; Fungsi dan Kedudukan wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat.'

Kalimat itu lantas populer di kalangan cendekiawan, mahasiswa, dan tak terkecuali para juru dakwah. Membumikan Alquran, maknanya mengimplementasikan nilai-nilai luhur Kitab Suci tersebut di kehidupan sehari-hari secara lebih konkret dan serius.

Dengan demikian menempatkan Alquran yang selama ini berada ranah langit-an sih; terhenti pada kajian ilmiah, atau sekadar dibaca namun keistimewaannya tertahan pada huruf, ritme, dan nada bacaan saja, agar kemudian benar-benar menjadi pedoman dan petunjuk hidup.   

Tetapi, sebenarnya usia dari subtansi apa yang diperkenalkan Quraish itu cukup tua, bersamaan dengan diturunkannya misi yang dibawa Rasulullah SAW. Begitulah tujuan risalah, agar nilai-nilai Qurani teraplikasikan dalam kehidupan riil, di bumi, bukan mengawang-awang di langit. Pantas bila  Umar bin Khatab RA berkisah, tak pernah satu pun ayat yang sahabat pelajari langsung dari Rasul, kecuali telah mereka praktikkan.  

Hanya saja, dalam konteks masa kekosongan pemikir tafsir lokal, Quraish mampu membingkainya dengan apik, meski kalimatnya tak terlalu kearab-araban, tetapi  tak melenceng dari esensi utama. Begitu lah Quraish yang menurut penilaian  Howard M Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia, putra kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan ini, adalah putra bangsa yang unik. Modal keilmuan yang ia peroleh selama di Timur Tengah, menjadi asupan berharga bagi dinamika tafsir di nusantara.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan fenomena kala itu, di saat akademisi justru didominasi para alumni kampus-kampus Barat. Keistimewaan ini menempatkannya sebagai nama cendekiawan paling populer dalam Popular Indonesian Literature of The Quran.

Mimpi besar ‘membumikan’ Alquran itu termanifestasikan lewat berbagai karya yang ia tulis. Dan sebagian besarnya, di dominasi dengan corak dan gaya tafsir. Gagasannya itu pun dinilai banyak kalangan, sangat inovatif, memecah kebuntuan kajian tafsir modern Tanah Air, yang sempat stagnan bahkan mandek pada 1980-an. Karya-karya monumental belum lagi muncul setelah era tersebut.

Padahal, dalam dekade itu, buah pemikiran beberapa tokoh sempat menggeliatkan kajian tafsir modern nusantara seperti karya ash-Siddieqy dengan judul Tafsir al-Bayan, Halim Hasan lewat Tafsir Alquranul Karim, dan terakhir pendahulu Quraish di Universtas al-Azhar Mesir, yakni karya Buya Hamka dengan judul Tafsir al-Azhar.

Howerd tentu tidak berlebihan menilai Sang Mufasir itu unik. Apalagi bila melihat potret dan stigma miring yang selama ini disematkan ke wajah para alumni Timur Tengah, tidak produktif, dan tak lihai menulis karya ilmiah. Citra itu diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas universitas di kawasan tersebut, tidak memberlakukan wajib skripsi bagi mahasiswa strata satu.

Namun, memang realisasi mimpi besar Quraish, tidaklah mudah. Perlu komitmen dan sinergitas. Konsep Pusat Studi Alquran yang ia Dirikan, seyogianya bentuk ikhitar sederhana merangkul segala potensi demi terwujudnya mimpi itu. Tentu, akan lebih indah, jika gayung bersambut, dalam upaya ‘membumikan’ Alquran

Di lain sisi, potensi diskursus dan disorientasi pada kajian tafsir, di tengah-tengah arus liberalisme dan radikalisme , cukup lah ada, untuk tidak dibilang besar.  Mempertahankan moderasi yang merupakan hakikat Islam, terkadang mendatangkan tudingan tak sedap.

Suara sumbang acapkali ditujukan kepada Sang Tokoh. Di satu sisi, masyarakat kian cerdas untuk membaca opsi yang sekiranya tepat, tanpa menabrak kesucian naluri mereka. Sementara di sisi yang lain, suara sumbang yang berasal dari ’ketidaktahuan’ itu, menyisakan kebencian, dan tuduhan murahan. Bagi Quraish, butuh proses untuk mendidik umat akan pentingnya kedewasaan berpikir.

Sebab inti dari mimpi tersebut adalah kepatuhan kepada Tuhan. Tuhan memberikan kebebasan, menginginkan agar dalam kehidupan di dunia, terwujud bayang-bayang surga. Bayang-bayang surga itu, menurut Alquran sandang, pangan, dan papan, tercukupi. Dan yang kedua, damai. Biarkan saja, Tuhan berkehendak apa. Tugas seorang hamba, adalah patuh, demikian penuturan Quraish kepada penulis, dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu. Salam takzim selalu, fa ya Mufassir al-Ashr.  

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement