Kamis 20 Feb 2020 08:54 WIB

Kabareskrim Dicecar Terkait Kasus Kondensat TPPI

Komisi III mempertanyakan keseriusan polisi dalam mengejar Honggo Wendratno

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) berbincang dengan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga di sela rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) berbincang dengan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga di sela rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III (Hukum) DPR menggelar rapat dengar pendapat bersama Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal kasus korupsi penjualan kondensat PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) pada Rabu (19/2). Pada rapat itu, anggota Komisi III mempertanyakan keseriusan polisi dalam mengejar Honggo Wendratno, terdakwa dalam kasus tersebut.

"Saya tidak mau berprasangka buruk, ini melarikan diri atau dilarikan?" kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, dalam rapat tersebut. Ia meminta Bareskrim untuk juga memastikan pada pihak Ditjen Keimigrasian soal tindak tanduk dan lalu lintas Honggo ke dalam maupun luar negeri.

Arteria mengkritik upaya kepolisian yang menurut dia seperti tidak menunjukkan niat dalam mengejar Honggo selama rentang lima tahun sejak kasus ini diproses. "Ini apa yang dilakukan kepolisian? Di sini kok bersurat, bersurat, bersurat, bersurat saja. Upaya pencarian seperti apa? Ini 400 ribu polisi apa nyerah nangkap Honggo? Apa iya Honggo melarikan diri, apa diamankan?" ujar dia.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, juga mempertanyakan sejauh mana langkah Bareskrim dalam mengejar Honggo yang diduga berada di Singapura. Ia bertanya soal bagaimana proses koordinasi Polri ke Interpol terkait pengejaran.

Anggota dari Fraksi PAN, Sarifuddin Sudding, mempertanyakan ada dan tidaknya pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus yang merugikan negara sekitar Rp 35 triliun itu. Sementara itu, anggota dari PKS, Aboue Bakar Alhabsy, menekankan pada Kabareskrim agar melacak keseluruhan aset yang dimiliki Honggo.

Anggota dari Demokrat, Benny Kabur Harman, juga mempertanyakan mengapa Honggo tak ditangkap. Ia bertanya alasan Bareskrim memilih melimpahkan berkas ke Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk memilih mekanisme sidang in absentia tanpa menghadirkan Honggo. "Ini jangan seperti main-main. Teroris saja 3 x 24 jam bisa ditangkap. Teman-teman ini ada kesungguhan, tidak?" kata Benny.

Lebih lanjut, Benny mengajak anggota dewan lain untuk melakukan sidak secara diam-diam ke lokasi tempat tinggal Honggo karena barangkali selama ini ternyata Honggo berada di rumahnya dan tidak pergi ke mana pun. "Mungkin kita perlu agendakan berkunjung langsung, incognito saja. Jangan-jangan (Honggo) sembunyi di sana," ujarnya.

Menanggapi cecaran beruntun, Kabareskrim Listyo mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk mengejar Honggo yang berada di Singapura. Ia beralasan, upaya itu macet karena Indonesia dan Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi bilateral. Sementara itu, pelimpahan berkas ke Kejakgung dengan harapan dilakukan sidang in absentia.

Proses penangkapan Honggo, menurut Listyo, dimungkinkan pada saat putusan pengadilan soal Honggo dinyatakan inkrah. Dengan putusan itu, kepolisian baru bisa meminta bantuan Singapura untuk dapat turut mencari Honggo dengan mekanisme MLA (mutual legal assistance).

"Dengan demikian, upaya kami mengembalikan Honggo tidak selesai di sini. Nanti setelah keputusan inkrah, kami bisa koordinasi bekerja sama dengan teman-teman Menkumham untuk melakukan proses MLA," ujar jenderal bintang tiga itu.

Terkait penelusuran aset, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri telah menyita aset senilai 2,577 miliar dolar AS. Nilai aset yang disita itu diakui Listyo masih di bawah total kerugian negara diakibatkan perbuatan Honggo cs.

Dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu, penjualan kondensat bagian negara senilai 2,716 miliar dolar AS. "Kami masih menelisik kemungkinan adanya keuntungan lain oleh Honggo dari hasil penjualan kondensat ke luar negeri," kata Listyo.

Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara tahap dua berupa barang bukti dan tersangka kasus kondensat ke Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2020. Berkas perkara tersebut diserahkan langsung kepada jaksa penuntut umum (JPU) yang telah ditunjuk oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Sejak Mei 2015, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi kondensat ini. Mereka adalah Raden Priyono, Djoko Harsono, dan Honggo Wendratno. Raden Priyono dan Djoko Harsono sudah diamankan. Sementara itu, Honggo belum ditahan. Dia terakhir kali diketahui menjalani perawatan kesehatan pascaoperasi jantung di Singapura.

Honggo cs diduga melakukan korupsi dalam pengolahan kondensat bagian negara. Kondesat PT TPPI itu dikelola tanpa kontrak kerja sama. Mereka juga mengambil, mengolah, serta menjual kondensat bagian negara sehingga merugikan keuangan negara. Audit Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dolar AS. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 35 triliun. n arif satrio nugroho, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement