Kamis 20 Feb 2020 04:26 WIB

KSPI Kritisi Komentar Menkeu Soal Iuran BPJS Kesehatan

Pemerintah harus meminta persetujuan publik untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Gita Amanda
Warga menunggu antrean pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020)
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warga menunggu antrean pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyesalkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang akan menarik seluruh suntikan dana atau subsidi yang diberikan pemerintah kepada BPJS Kesehatan. Langkah ini akan diambil jika DPR RI bersikukuh ingin membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"BPJS Kesehatan bukan BUMN. Karena bukan lagi BUMN, pemerintah tidak bisa menaikkan iuran BPJS Kesehatan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan publik," kata Said Iqbal, dalam keterangannya, Rabu (19/2). 

Iqbal menjelaskan, pemilik BPJS ada tiga kelompok. Pertama adalah pengusaha yang membayar iuran BPJS, kedua masyarakat penerima upah yaitu buruh dan iuran mandiri, kemudian ada pemerintah melalui penerima bantuan iuran (PBI).

"Karena itu, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menaikkan iuran tanpa melakukan uji publik," kata dia.

Dalam hal ini, lanjutnya, DPR RI sudah menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III. Untuk itu, pemerintah seharusnya mendengarkan sikap DPR dan segera membatalkan kenaikan tersebut

 

"Kenaikan iuran BPJS Kesehatan terbukti memberatkan masyarakat dan bukan solusi untuk menyelesaikan defisit. Seharusnya kegagalan dalam mengelola BPJS tidak dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan iuran," kata dia menegaskan.

Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan, sampai dengan akhir 2019 pemerintah telah menambal defisit BPJS Kesehatan hingga mencapai Rp 13 triliun. Adapun defisit BPJS Kesehatan yang diperkirakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyentuh angka Rp 32 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement