Rabu 19 Feb 2020 18:38 WIB

RUU Ketahanan Keluarga: Pengusul Belum Baca Draf Lengkap

RUU Ketahanan Keluarga dinilai terlalu mengurusi ranah privat.

Rep: Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Anggota Komisi VIII DPR RI, Endang Maria Astuti.
Foto: Dok Humas DPR RI
Anggota Komisi VIII DPR RI, Endang Maria Astuti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak mempertanyakan Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang dinilai terlalu mengurusi ranah privat. Salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga yang juga anggota komisi VIII Endang Maria Astuti mengakui bahwa dirinya belum membaca secara lengkap draft RUU tersebut.

"Ya memang waktu itu diskusinya baru sebatas itu (menyinggung ranah privat atau tidak), lalu untuk lanjutannya kita memang belum tahu persis karena kesibukan kita, kita enggak sampai membaca lengkap," kata Endang, Rabu (19/2).

Baca Juga

"Jadi kita akan lihat lagi di beberapa diskusi ketika akan menyusun kita pun juga enggak lengkap kita percayakan. Jadi totally kita belum apakah kita itu lihatnya usulan kita itu masuk semua atau enggak," imbuhnya.

Politikus Partai Golkar itu juga mengungkapkan ide awal diusulkannya RUU Ketahanan Keluarga. Menurutnya, latar belakang diusulkannya RUU adalah untuk mencegah anak terkena narkoba, terpapar pornografi, kekerasan seksual, dan bullying.

"Inilah yang melatarbelakangi kenapa kita waktu itu di Kemensos, agama, dan pemberdayaan perlindungan anak itu kan ketika bersinergi program-program itu dan baru bisa diminimalisir hal yang tadi saya sebut, dari narkoba kekerasan seksual dan sebagainha. Itu rencananya adalah gimana pertahanan keluarga itu mampu mencegah itu semua, ini ide awalnya," jelasnya.

Diketahui, ada 146 pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga. Salah satu yang menuai kontroversi adalah pasal terkait penyimpangan seksual. Tidak hanya sejumlah pasal mengenai penyimpangan seksual, RUU Ketahanan Negara juga mengatur larangan donor dan jual beli sperma.

Berdasarkan draf RUU Ketahanan Keluarga yang diterima Republika, Pasal 86 menyatakan, "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Di pasal 87, "Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang sama seperti yang termuat dalam pasal 86."

Adapun berdasarkan penjelasan di RUU tersebut, ada empat hal yang dikategorikan dalam pasal tersebut. Penyimpangam pertama yakni sadisme, yang dideskripsikan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Kedua, masokisme dianggap kebalikan dari sadisme, sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan lawan jenis.

Ketiga, RUU ini juga mengatur homoseks dan lesbian sebagai masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama. Keempat, RUU ini melarang inses atau hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang dilarang kawin.

Selain mengatur soal penyimpangan, RUU itu juga melarang jual beli dan donor sperma. Pasal 139 RUU tersebut menyatakan, "Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta."

Pasal 140 juga menyatakan, "Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta."

Selain itu, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan surogasi atau dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun untuk pelaku, dan 7 tahun untuk pembujuk atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta."

Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima orang. Dan, sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

Adapun lima orang pengusulnya, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetyani dari Fraksi PKS. Serta, Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher Parasong (PAN).

"Karena sudah disahkan di paripurna, maka ibarat taksi argonya itu mulai jalan. Tahapan untuk menuju RUU itu sudah bisa dilakukan," ujar Baidowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement