REPUBLIKA.CO.ID, Beragam hujatan yang dialamatkan kepada sekolah tempat terjadinya perundungan, SMP Muhammadiyah Butuh, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, sudah saatnya dihentikan. Pihak-pihak yang selama ini telah turut andil dalam memberikan stigma miring kepada institusi pendidikan ini, perlu melihat persoalan dengan jernih, tanpa mengesampingkan peran yang dimainkan sekolah selama ini.
Pegiat Pendidikan Muhammadiyah Abdullah Mukti mengatakan, atas terjadinya perundungan di SMP Muhammadiyah Butuh memang sangat disesalkan. Karena, sesuai dengan visi lembaga pendidikan pada umumnya, sekolah Muhammadiyah, mestinya juga menjadi tempat yang menyenangkan, mengasyikkan, menginspirasi. "Dan tidak ada kekerasan,” tegasnya.
Abdullah Mukti
Hanya saja, semua pihak harus bisa melihat berbagai macam aspek. Dalam kasus perundungan yang terjadi di SMP Muhammadiyah Butuh--baik pelaku maupun penyintasnya--adalah anak- anak yang ‘terbuang’ dari sekolah negeri, hingga kemudian tidak ada yang mau ngopeni (menerima; red) mereka sebagai peserta didik.
Faktanya, hanya SMP Muhammadiyah Butuh itu yang mau ngopeni mereka sebagai peserta didik. Hal ini, diakuinya, tentu banyak risiko yang harus diambil untuk mendidik anak- anak ‘istimewa’ tersebut.
Kebetulan juga, siswi yang menjadi penyintas perundungan tersebut adalah anak abilitas. “Maka upaya sekolah (SMP Muhammadiyah Butuh) yang terbuka, ramah, mau membina dan mendidik anak- anak yang ‘istimewa’ tersebut semestinya juga bisa diapresiasi,” tuturnya.
Maka, ketika mereka melakukan kasus perundungan, mestinya sikap yang diambil juga harus bijaksana. Yang pertama kasus itu harus diselesaikan dan anak yang melakukan itu harus ditangani terlebih dulu moralitasnya, karakter, dan seterusnya.
Yang kedua, mestinya sekolah itu juga harus dibantu bersama-sama agar bisa saling menguatkan agar ke depan bisa menjadi sekolah yang bisa memainkan perannya dalam membentu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa.
Mukti bahkan tak sependapat opsi yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah dengan menutup sekolah tempat terjadinya perundungan. Mestinya, sekolah justru disuport bagaimana bisa menangani permasalahan tersebut, sekaligus juga ikut menyehatkannya.
Karena, SMP Muhammadiyah Butuh juga membantu pemerintah. “Andai anak tersebut tidak diopeni Muhammadiyah, mereka nggak sekolah. Padahal, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kewajiban negara dan pendidikan tidak boleh diskriminatif,” tegasnya.
Staf Khusus PP Muhammadiyah ini juga menyampaikan, hujatan atau memberikan label negatif itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Karena sekolah tersebut punya upaya yang sangat luar biasa dengan mau memberikan pelayanan pendidikan tanpa mengenal diskriminasi.
Yang harus dilakukan, semua mestinya bisa bergandengan tangan dan mengupayakan bagaimana sekolah ini bisa menangani persoalan yang dihadapi serta ke depan bisa menjadi pendidikan yang lebih baik.
Karena apa yang terjadi di SMP Muhammadiyah Butuh, juga pernah menjadi pengalamannya saat menjadi kepala sekolah SMP Muhammadiyah 1 Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tahun 2009 silam.