Sabtu 15 Feb 2020 13:36 WIB

Mengenang Gugurnya Hasan al-Banna

Hasan al-Banna penggagas Ikhwanul Muslimin meninggal diberondong peluru 71 tahun lalu

Hassan Al Banna
Foto: pixmule.com
Hassan Al Banna

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana, Pegiat Literasi Islam

Tujuh puluh satu tahun lalu. Embusan napasnya berakhir. Berhenti akibat berondongan peluru yang sebenarnya, secara ajaib, tak seketika merobohkan badannya. Penanda si empu raga begitu kokoh. Tapi malam itu ia dipaksa untuk meregang nyawa. Karena banyak tangan terlibat: momen pertolongan tak boleh ada.

Kendati begitu, roboh raga tak ambrukkan nyawa gerakannya. Harum semerbak ke penjuru dunia. Meski banyak aral dan hasad ditebar lawan-lawannya. Hingga kini selalu berjumpa peristiwa serupa.

Semuanya berawal dari hal sederhana. Yang ia lakoni penuh bersahaja. Yang para alim Al Azhar belum sempat pikirkannya, atau hanya sekadar wacana di meja kertas fiqh.

Ya, ia berjibaku. Saban waktu. Malam memeluknya dirinya untuk berjalan. Begitulah lakunya. Di ujung perjuangan selaku mahasiswa Darul 'Ulum, ia ajak teman-temannya menerapkan ilmu dari para masyaikh. Semacam kuliah kerja dakwah ke kedai-kedai kopi.

Heran dan pesimis awal reaksi temannya. Tapi ia bersikeras. Hingga saban malam ia keliling kedai-kedai kopi di kawasan Thulun. Ternyata para pencinta kopi tidak keberatan. Acap ia diminta terus berceramah soal agama. Segelas kopi dari barista kedai ditolaknya. Sebab tiada waktu buat mencecap pahitnya arabika sana.

Jalan Ramses pada Sabtu 12 Februari 1949. Senyap hadir tidak seperti malam-malam biasanya. Kedai-kedai kopi tutup. Senyap dalam gelapnya malam. Gelap yang tanpa lalu lalang seorang pun kecuali dua makhluk menanti taksi.

Sekira pukul 20.20 senyap terbenam gaduh. Selongsong pistol bermuntahan. Dua orang roboh. Langsung dilarikan ke al-Qashir al-'Aini, rumah sakit terdekat setempat.

Banyak tangan ingin membantu. Semua dilarang. Sesiapa saja nyaris tahu siapa yang bermain dalam makar ini. Tapi warga tak punya kuasa.

Waktu bergulir cepat. Malam kian gelap. Segelas kopi diminta lelaki yang roboh oleh tujuh peluru askar raja. Ganjil sebenarnya lantaran ia acap disebut bukan penyuka kopi. Segelas kopi yang menjadi saksi malam akhir dalam hayatnya di arloji 00.22 menit.

Lelaki itu tiada, tetapi namanya masih abadi dalam kata: Hasan al-Banna bin Ahmad Abdurrahman, pengasas harakah Ikhwanul Muslimin. Meski puluhan cerca beterbangan di angkasa; jutaan doa terus bergema. Dan tugas sesiapa yang mengagumi metode pergerakan islamisnya di sini adalah menerka pikirannya sesuai pendekatan maqashidi yang selaras dengan zaman. Agar bernegara lewat pergerakan islami di sini tak sepahit prasangka pahitnya kopi. Selaksa seruput kopi terakhir di perasa al-Banna.

Nama al-Banna tak asing di sini bagi para pejuang pendiri Republik, yang menemuinya untuk mendapat sokongan kemerdekaan kita dari kolonialisme. Tanyakan pada Hadji Agus Salim, Bung Sjahrir, AR Baswedan, Nazir Pamuntjak, HM Rasjidi.

photo
gus Salim, Ketua Delegasi Republik Indonesia, bersama H. Rasyidi menyampaikan terima kasih bangsa Indonesia kepada Hasan Al-Banna (Mursyid Am Al-Ikhwan Al-Muslimun)yang kuat sekali menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sumber gambar: Hassan, M.Z. 1980. Diplomasi revolusi Indonesia di Luar Negeri. Bulan Bintang. Jakarta. halaman 220.

Kita jua sepatutnya tempuh itu tanpa prasangka kelewatan. Hanya karena kita terbuai terpaan advertorial kopi gunting produksi kapitalis atau kampanye fobia pada kaum pergerakan islamis. Bahwa ada yang berlampauan dari kalangan gerakan yang terinspirasi al-Banna, benar adanya. Tapi tak perlu gebyah uyah. Hingga sangka agama ini lawan dari kesepakatan bersama berupa Pancasila tak ada lagi jadi lagu para sarjana studi Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement