Selasa 18 Feb 2020 07:48 WIB

Erick Thohir dan Kisah Pertamina 1975

Pertamina sempat menjadi bahasan dunia pada 1975

Menteri Parekraf Wishnutama Kusubandio (kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) dan Mendagri Tito Karnavian (kiri) sebelum mengikuti rapat terbatas (ratas) tentang peningkatan peringkat pariwisata Indonesia di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Menteri Parekraf Wishnutama Kusubandio (kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) dan Mendagri Tito Karnavian (kiri) sebelum mengikuti rapat terbatas (ratas) tentang peningkatan peringkat pariwisata Indonesia di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Baca Juga

Pertamina pernah mengejutkan dunia pada 1975. Saat itu, produksi minyak Indonesia melimpah. Tapi kondisi finansial Pertamina justru sebaliknya. Krisis keuangan melanda.

Krisis Pertamina di tengah 'boom minyak' itulah yang menyedot atensi sejumlah media dunia. Wall Street Journal edisi 26 Maret 1975 menjadikan isu ini sebagai tajuk utama pemberitaannya dengan judul 'Pertamina Runs Into Financial Problems Due to Overextension.'

Laporan Wall Street Journal menyimpulkan bahwa krisis Pertamina saat melimpahnya produksi minyak terjadi akibat kesalahan strategi bisnis. Pertamina mengembangkan diversifikasi yang terlalu luas dan tidak terkait (unrelated diversivication). Hal ini malah membuat keuntungan besar bisnis minyak tergerus signifikan.

Sektor bisnis lain bukannya memberi kontribusi keuntungan, malah membebani keuangan. Usut punya usut banyaknya unit bisnis saat itu adalah demi menampung banyak kroni dan oknum. Fenomena ini sempat dipotret oleh Richard Robinson lewat bukunya yang monumental berjudul Indonesia: The Rise of Capital (1986).

photo
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Krisis Pertamina 1975 itu memberi pelajaran penting. Saat BUMN terlalu melenceng dari core bisnisnya maka risiko besar megancam. Memang, dalam bisnis ada istilah 'don't put your egg in one basket (jangan menaruh telur di satu keranjang yang sama)'. Sebab jika keranjang jatuh, tak ada lagi telur yang tersisa. Tapi menaruh telur di begitu banyak keranjang juga berpotensi membuat fokus untuk menjaganya sangat lemah. Akibatnya telur rawan dicuri dan dikorupsi.

Analogi telur di atas agaknya cocok dengan dunia bisnis. Terlalu fokus dalam satu bisnis ibarat menaruh seluruh telur dalam satu keranjang. Sebaliknya, diversifikasi usaha yang begitu luas, ibarat menyebar telur di keranjang yang sangat banyak. Diversifikasi yang moderat adalah diversifikasi yang masih fokus dalam core bisnis. Ini ibarat menaruh telur di beberapa keranjang yang saling baling berdekatan. Sehingga memungkinkan untuk tetap fokus menjaganya.

Berkaca dari sejarah itulah, langkah Menteri BUMN Erick Thohir yang meminta BUMN fokus pada core bisnisnya menjadi hal yang fundamental. Erick menegaskan akan menata sejumlah anak cucu usaha BUMN yang jauh berada di luar core bisnisnya. Sebab terkadang anak cucu usaha sejumlah BUMN kerap tumpang tindih antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.

Sebagai contoh, masing-masing BUMN besar umumnya memiliki anak usaha rumah sakit. Tapi anak usaha yang sama itu tidak saling bersinergi antara satu BUMN dengan yang lain. Tak hanya soal tumpang tindih, banyak rumah sakit BUMN yang fokus pengelolaannya seadanya.

Sehingga walau jumlah rumah sakit BUMN cukup banyak, namun kualitasnya masih kalah dengan rumah sakit lain. Akibatnya rumah sakit BUMN jadi sulit bersaing.

Pada titik inilah restrukturisasi akan dilakukan kementerian BUMN. Seluruh anak usaha yang sama itu akan disatukan dalam sebuah payung yang sama. Fokus optimalisasi ini dilakukan sejak input pengelolaan. Ini agar output yang dihasilkan BUMN lebih optimal. Walhasil restrukturisasi aset jadi sangat penting di BUMN. Langkah-langkah penyatuan sejumlah anak usaha menjadi satu induk usaha akan membuka celah perbaikan performa.

Namun penyatuan anak-anak usaha yang punya latarbelakang berbeda memiliki sejumlah faktor kendala. Faktor yang paling sering menghambat kesuksesan merger adalah motif dan tujuan yang tidak sama. Sehingga ketika usaha disatukan yang timbul malah konflik.

Karena itu, motif dan tujuan anak-anak usaha BUMN yang akan direstrukturisasi ini perlu sejak awal perlu dikonsolidasikan secara menyeluruh. Konsolidasi internal sangat penting agar proses restruturisasi berjalan efektif demi satu motif dan tujuan.

Jangan justru sejumlah anak usaha yang disatukan malah ibarat 'tidur di ranjang yang sama, tapi memiliki dua mimpi yang berbeda.' 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement