REPUBLIKA.CO.ID, NATUNA -- Nama Kota Tua Penagi menjadi populer saat puluhan warganya menolak penempatan lokasi observasi kepada 238 orang WNI yang baru datang dari Wuhan, China. Penolakan terkait kekhawatiran akan penyebaran Covid-19.
Kala itu akhir Januari 2020. Tayangan berita di televisi menampilkan penolakan warga Kota Tua Penagi dan daerah lain di Natuna. Warga Natuna berkumpul di sekitar Lanud Raden Sadjad, berteriak, bahkan sampai membakar ban sebagai bentuk penolakan kampungnya dijadikan lokasi observasi.
Tidak heran jika ada yang menuding Penagi sebagai kota sangar yang penuh dengan orang-orang keras. Namun tunggu dulu, itu persepsi salah. Sejatinya, Kota Tua Penagi adalah kampung yang santai, layaknya perkampungan di pulau-pulau. Warganya pun ramah, khas Indonesia.
Hanya saja, ketakutan warga akan kabar bohong tentang Covid-19 yang banyak beredar di media sosial, membikin warganya panik, hingga membuat penolakan besar-besaran.
Kampung Penagi berada di sebuah persimpangan. Di seberang Penagi, adalah gerbang menuju Lanud Raden Sadjad, di sebelah kirinya pelabuhan dan sebelah kanan adalah jalan lingkar, menuju Kota Ranai, ibu kota Natuna.
Sebelum memasuki Penagi, terdapat gapura berwarna putih. Kedua tiang gapura dihubungkan "payung" menyerupai kubah masjid. Di bawahnya, terdapat lambang negara Burung Garuda. Kemudian, tulisan Gong Xi Fa Chai, baru kemudian Kota Tua Penagi.
Karena baru saja merayakan Imlek, maka hiasan lampion juga nampak di gapura, dan sepanjang kampung.
Di Penagi, hanya terdapat sekitar 100 rumah warga, yang berjejer menghadap pelantar, yang terus menjorok ke laut. Seluruh rumahnya berdiri di atas laut, dengan cat warna-warni.
Ramah
"Hendak ke mana?" sapaan ramah penuh senyum warga Penagi kepada pelancong yang datang. Tidak hanya satu, tapi hampir semua warga yang berada di luar rumah menyapa wajah yang baru dilihatnya.
Tua-muda, pria-wanita, semuanya menyapa penuh kehangatan dari gerbang masuk, hingga ke ujung pelantar. Melunturkan kesan keras yang ditampilkan di televisi saat menolak observasi WNI dari Wuhan.
Sebenarnya, tidak heran juga bila melihat keramahan warga menyambut orang baru. Dulu, Penagi adalah kampung yang ramai, karena berada dekat dengan Pelabuhan Penagi.
Warga di sana sudah biasa kedatangan tamu, penumpang kapal dan pedagang-pedagang yang membawa berbagai barang dari pulau, bahkan daerah lain.
"Dulu, di sini ramai benar. Pasarnya lah, sebelum dipindah ke Selat Lampa," kata warga Penagi, Lia.
Ia mengatakan, dulu kapal perintis dan kapal-kapal pedagang singgah di sana. Sehingga sudah biasa orang lalu lalang di sana.
Tidak heran jika banyak warga Penagi juga membuka toko kelontong atau warung makan di rumahnya untuk melayani kebutuhan pelancong ke wilayah itu.
Menurut Lia, dulu, Penagi sangat ramai, warganya juga banyak. Namun, kini banyak warga Penagi yang pindah ke Ranai, ibu kota kabupaten. "Yang kaya pindah ke Ranai," seloroh warga Natuna lainnya, Ita.
WNI Wuhan
Bila sekitar 2 pekan yang lalu, Penagi bagai kota mati. Maka pada Jumat (14/2), sehari sebelum masa karantina WNI asal Wuhan habis, Penagi kembali menjadi kampung santai.
Sejumlah kendaraan roda dua dan empat lalu lalang, sebagian berhenti di warung makan ayam milik Supriadi, yang berhadapan dengan gerbang Lanud.
Warganya pun bebas berjalan tanpa mengenakan masker. Tidak nampak ada kekhawatiran sama sekali. "Sekarang sudah tidak takut, sudah dapat banyak penjelasan dari pemerintah," kata Rina, yang duduk di teras rumah bersama anak bungsunya yang baru berusia 7 bulan.
Padahal, kata dia lagi, 2 pekan yang lalu, ia menutup pintu rumah rapat-rapat, begitu pun jendela rumah. Rina memutuskan tidak meninggalkan Penagi, atas saran abangnya. Meski begitu, ia menutup akses ke luar rumah.
"Ya kita takut, yang datang katanya bawa virus," cerita Rina sambil memberikan susu pada putrinya dari botol.
Setali tiga uang dengan Rina, warga Penagi lainnya, Ridawati mengaku merinding begitu mendengar suara pesawat yang membawa WNI dari Wuhan mendarat di bandara yang hanya berjarak beberapa km saja dari rumahnya.
Waktu itu, Ridawati langsung menutup seluruh pintu dan jendela. Ketakutan di dalam rumah.
Ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan itu berangsur pulih. Dan benar-benar hilang di hari ke-4 masa observasi.
Warga yang sebelumnya meninggalkan Penagi mulai kembali ke kampungnya.
Warga kemudian menerima kehadiran WNI dari Wuhan dengan tangan terbuka, seperti biasa saat mereka menyapa tamu yang baru datang.
Mereka terus yakin, bahwa WNI dari Wuhan dalam kondisi sehat, dari video-video yang disebarkan petugas dari dalam hanggar, dan dari suara-suara yang mereka dengar samar-samar dari rumahnya.
"Setiap pagi mereka (WNI dari Wuhan) senam. Suaranya terdengar sampai sini. Enggak mungkin kalau sakit, senam," kata Rida.
Dan besok, warga Penagi siap melepas WNI dari Wuhan dengan gembira, karena masa karantina sudah usai.
Sebanyak 238 WNI dari Wuhan, China yang di observasi di Natuna, semuanya dinyatakan sehat dan rencananya akan dipulangkan ke daerah masing-masing pada Sabtu (15/2).