REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejakgung) belum menerima permintaan para tersangka untuk menjadi justice collaborator (JC) dalam penyidikan dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Jiwasraya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengatakan, tim penyidik akan mengumumkan jika ada tersangka yang bersedia menjadi saksi pelaku untuk bekerja sama dalam penyidikan.
“Kami belum menerima. Biasanya itu (menjadi JC) disampaikan tersangka kepada penyidik. Tetapi, sampai hari ini, belum ada (tersangka) yang mengajukan justice collaborator,” terang Hari saat ditemui di Kejakgung, Kamis (13/2).
Kejakgung, dalam penyidikan dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya, kini mengantongi enam tersangka. Mereka antara lain, Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto.
Ketiganya merupakan pebisnis saham. Sedangkan tiga tersangka lainnya, yakni para mantan petinggi PT Asuransi Jiwasraya, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Enam tersangka tersebut, kini dalam tahanan.
Kejakgung menjerat keenamnya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 20/2001. Dua tersangka, yakni Benny dan Heru, ditambahkan tuduhan dengan UU TPPU.
Terkait JC, usulan tersebut mencuat dari Panitia Kerja (Panja) Jiwasraya di Komisi III DPR RI. Salah satu anggota Panja dari fraksi partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengusulkan agar tersangka Benny menjadi JC.
Usulan tersebut, Hinca sampaikan saat melakukan rapat tertutup Panja Komisi III dengan para penyidik dari Direktorat Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung yang menangani dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya.
“Bisa jadi justice collaborator sebenarnya untuk membuka semua,” terang Hinca. Pandangan Hinca tersebut, dengan alasan peran Benny yang penting dalam pengungkapan skandal Jiwasraya.
Apalagi, menurut Hinca, Benny, pada 31 Januari, pernah melayangkan surat kepada wartawan, tentang cara mengungkap skandal gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun tersebut. Akan tetapi, saran Benny tersebut, tak pernah digubris oleh tim penyidik Kejakgung.
Benny, dianggap tersangka penting dalam skandal Jiwasraya karena perannya sebagai Komisaris Utama PT Hanson Internasional (MYRX). Perusahaan tersebut, diduga menjadi salah satu emiten yang menerima dana pengalihan uang hasil penjualan produk asuransi Jiwasraya Saving Plan.
Pengalihan dana Jiwasraya ke MYRX tersebut, yang dianggap menjadi salah satu penyebab memburuknya kondisi keuangan Jiwasraya.
Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus (Dir Pidsus) Kejakgung Febri Adriansyah pernah menerangkan, selain membeli saham MYRX, pengalihan dana JS Saving Plan juga mengalir ke empat emiten lainnya.
Seperti PT Trada Alam Minera (TRAM), milik tersangka lain Heru Hidayat, dan kode emiten IIKP, LGJP, dan SMLU. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan, pengalihan dana JS Saving Plan ke dalam saham perusahaan tersebut, membuat Jiwasraya mengalami kerugian.
BPK mengatakan, saham-saham dari pengalihan dana JS Saving Plan tersebut, berkualitas buruk dan tak liquid. Kondisi tersebut, membuat Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim asuransi para nasabahnya per September 2018 senilai Rp 13,7 triliun.
Kondisi tersebut, pun menurut BPK yang menjadi sebab Jiwasraya mengalami defisit keuangan mencapai Rp 27,2 triliun pada November 2019. Namun sampai hari ini, BPK belum menemukan angka pasti besaran kerugian negara. Sedangkan Kejakgung meyakini, angka Rp 13,7 triliun menjadi potensi minimal besaran kerugian negara.