REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden melalui keterangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi berpandangan jabatan wakil menteri (wamen) tetap konstitusional. Kendati wamen tak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pemerintah membantah bahwa keberadaan wakil menteri bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara".
Keterangan ini disampaikan Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkum HAM Ardiansyah yang mewakili Presiden dalam persidangan uji materi Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstiusi (MK).
"Bahwa dalam menafsirkan dan menjabarkan Pasal 17 UUD 1945 tidaklah hanya semata-mata melihatnya secara eksplisit, tetapi perlu juga melalui perspektif yang lain yaitu lebih luas dari itu," ujar Ardiansyah dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (10/2).
Pemohon menjadikan bunyi pasal 17 ayat (1) UUD 1945 sebagai salah satu landasan untuk mendalilkan, jabatan wakil menteri adalah inkonstitusional karena tak diatur dalam UUD. Akan tetapi, Ardiansyah menuturkan, dalil itu dinilai tidak tepat.
Sebab, lanjut dia, jabatan wakil menteri tetap dapat dibentuk apabila presiden menilai hal itu dibutuhkan demi menjalankan roda pemerintahan. Ia mengatakan, presiden tak dapat disalahkan atau dibenturkan dengan konstitusi karena memiliki kewenangan dan diskresi dalam membuat kebijakan.
"Jika kewenangan dan diskresi yang digunakan oleh presiden dalam membuat kebijakan, maka presiden tidak dapat disalahkan atau dibenturkan dengan konstitusi karena hakikatnya presiden juga menjalankan perintah undang-undang," kata dia
Ardiansyah menilai, meskipun UUD 1945 tak mengatur kedudukan wakil menteri, bukan berarti terdapat larangan mengatur jabatan tersebut. Sebab, Peraturan Presiden Nomor 134 Tahun 2014 mengatur secara jelas mengenai posisi wakil menteri.
"Wakil menteri hanya dapat diangkat presiden dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus," tutur Ardiansyah.
Sementara itu, anggota majelis hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan, pasal 17 dan pasal 4 UUD 1945 yang disebutkan oleh Ardiansyah tak ada kaitannya dengan jabatan wamen.
Akan tetapi, dalam keterangannya Ardiansyah menggunakan kedua pasal itu untuk beragumentasi soal hak prerogatif presiden secara konstitusi.
Ia meminta pemerintah menjelaskan alasan presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya untuk mengangkat jabatan-jabatan tertentu yang tidak tersirat dan tegas diatur konstitusi. Sehingga kemudian pemerintah membuat ketentuannya dalam peraturan perundangan-undangan.
"Melalui undang-undang untuk jabatan tertentu yang tidak secara tersirat tegas bahwa ini boleh prerogratif ini kemudian dijabarkan di undang-undang yang sesungguhnya tidak nyambung dengan jiwa yang ada di konstitusinya," jelas Suhartoyo.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara selaku pemohon mengajukan uji materi terhadap Jabatan wakil menteri yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Ia menilai penambahan jumlah wakil menteri dilakukan secara subjektif dan tanpa ada alasan urgensi yang jelas.
Dalam berkas permohonannya, pemohon menilai Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945. Sebab, dalam UUD itu tak ada satupun membahas tentang diperlukannya jabatan wakil menteri, melainkan hanya memberikan kewenangan konstitusional kepada menteri sebagai pembantu presiden.