Jumat 07 Feb 2020 09:55 WIB

Hoaks Corona dari Grup Sebelah

Hoaks Corona lebih dulu sampai dibanding informasi resmi dari otoritas kesehatan.

Corona dan hoaks
Foto: Republika
Corona dan hoaks

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christianingsih*)

Pagi-pagi handphone saya berbunyi. Ada sebuah pesan masuk di grup keluarga. Rupanya seorang kerabat meneruskan pesan mengenai pengobatan virus Corona secara tradisional.

"Dapat info dari group sebelah," demikian bunyi kalimat pembuka, khas pesan berantai. Pesan itu menyebut virus Corona dapat sembuh dengan mengonsumsi air rebusan dari delapan biji bawang putih. Untuk lebih meyakinkan pembaca, dalam pesan itu dituliskan kalimat "Ternyata pasien virus Corona sembuh di hari kedua setelah minum air bawang putih ini!!!!"

Si penulis nampaknya ngotot sekali sampai harus membubuhkan lima tanda seru di belakang kalimat. Dalam sekali baca sudah langsung ketahuan info tersebut tidak benar adanya.

Tapi karena tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan entah ketidakmauan atau ketidakmampuan mengecek ulang maka pesan hoaks itu pun terus terkirim dan terkirim. Sepanjang pengamatan Kemenkominfo mulai Kamis (23/1) hingga Senin (3/2), terdapat 54 percakapan hoaks atau disinformasi seputar Corona.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menuturkan hoaks seputar penularan virus Corona ini memberikan dampak negatif. Salah satunya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap 238 warga yang dikarantina di Natuna.

Hal ini sangat disayangkan. Pemerintah terkesan terlambat memberikan sosialisasi tentang virus Corona yang menghebohkan dunia ini. Hoaks lebih dulu sampai ke hadapan sebelum informasi resmi dari otoritas kesehatan.

Andai saja ada iklan layanan masyarakat soal sosialisasi virus Corona yang tayang di jam-jam prime time, mungkin aneka hoaks yang mampir di grup WhatsApp tak akan memberi efek sebesar penolakan di Natuna. Katakanlah ketika pemirsa sedang leyeh-leyeh menikmati sinetron-sinetron adzab atau infotainment, saat itu pula mereka bisa memahami apa dan bagaimana Corona itu ditularkan lewat iklan yang terselip.

Metode ini bisa menjangkau mereka yang tidak mau dan atau tidak mampu mencari informasi lewat berita atau sumber-sumber valid. Kita harus akui bahwa tidak semua masyarakat suka membaca berita (bermutu) atau mengikuti berita terbaru di televisi.

Isu virus Corona juga telah mengatrol harga masker, utamanya N95, ke tingkat harga yang tidak masuk akal. Sekotak masker di Pasar Pramuka yang tadinya dijual Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribuan kini harus ditebus di kisaran harga Rp 1,5 jutaan.

Ini Indonesia lho, bukan di Cina sana yang menjadi pusat penyebaran virus. Tidak adakah upaya pemerintah untuk menindak pihak-pihak yang ambil untung karena ketakutan ini? Tidak adakah upaya pemerintah menindak mereka-mereka yang menyebarkan ketakutan soal Corona?

Bahkan apotek di Beijing saja kena denda tiga juta yuan atau sekitar Rp 8,5 miliar karena menaikkan harga masker enam kali lipat di tengah wabah Corona. Tapi di sini kita belum mendengar tindakan serupa diambil.

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satu pun warga di Indonesia yang dinyatakan positif terinfeksi Corona dan semoga jangan sampai ada yang terinfeksi. Jadi seharusnya harga masker pun tak perlu naik demikian tinggi.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement