REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH— Anggota DPR Aceh (DPRA) Iskandar Usman Al Farlaky mendesak Pemerintah Aceh mengupayakan pemulangan sebanyak 32 nelayan Aceh Timur yang ditangkap di Thailand.
"Hampir dua pekan mereka ditangkap di Thailand. Kami melihat upaya Pemerintah Aceh memulangkan mereka masih nihil," katanyadi Banda Aceh, Rabu (5/4).
Menurut politisi Partai Aceh tersebut, kondisi ityu berbanding terbalik jika melihat penanganan mahasiswa Aceh di Wuhan, China terkait wabah coronakarena perhatian Pemerintah Aceh terhadap nelayan Aceh Timur sangat kurang.
"Kami tidak membanding-bandingkan. Seharusnya, 32 nelayan Aceh juga mendapat penanganan. Mereka juga warga Aceh yang membutuhkan perhatian Pemerintah Aceh," kata Iskandar Usman.
Oleh karena itu, anggota DPRA Daerah Pemilihan Aceh Timur tersebut mengharapkan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh tidak mengabaikan nasib 32 nelayan Aceh Timur yang kini ditahan di Thailand.
"Mereka, nelayan Aceh Timur, tersebut berasal dari keluarga miskin. Anak istri mereka menunggu di kampung halaman tanpa kejelasan nasib. Jangan sampai mereka pulang setelah menjadi jenazah, barulah semua sibuk," kata Iskandar Usman Al Farlaky.
Sebelumnya, 32 nelayan Aceh Timur yang mengawaki dua kapal motor, KM Perkasa Mahera dan KM Voltus ditangkap otoritas Thailand. Kedua kapal tersebut terseret arus, sehingga masuk perairan Thailand.
Sebanyak 57 nelayan asal Provinsi Aceh yang masih ditahan di sejumlah negara di Asia. Mereka ditahan dengan tuduhan melanggar batas perairan antar negara. "Iya ada 57 orang nelayan kita yang ditahan di luar negeri," kata Sekjen Panglima Laot Aceh, Miftach Cut Adek, di Banda Aceh, Rabu (5/2).
Dia menyebutkan 57 nelayan kecil Aceh yang ditahan itu tersebar di Thailand, Myanmar, dan India. Dia mengungkapkan, seorang nelayan bernama Jamaluddin sedang menjalani hukuman penjara selama tujuh tahun di Myanmar.
Menurut dia, Jamaluddin sebagai cukong ini ditangkap bersama 15 nelayan Aceh lainnya pada akhir 2018 lalu, namun satu orang meninggal setelah melompatke laut karena panik saat penangkapan, namun 14 lainnya dideportasi ke negara asalnya setelah sempat ditahan.
Kemudian, kata dia, 25 orang nelayan Aceh juga dipenjara di Jail Andaman dan Nicobar. Mereka ditangkap dalam bulan yang berbeda pada 2019, karena melanggar batas teritorial akibat terbawa ombak dan badai besar, serta juga karena rusak mesin kapal.
"Dan yang kemarin ditangkap di Thailand, ada sejumlah 31 orang, yang berangkat 12 Januari 2020 dan ditangkap pada 21 Januari. Jadi jumlah semuanya 57 orang," katanya.
Dia menjelaskan sejauh ini pihaknya tidak dapat berkomunikasi dengan para nelayan tersebut, kecuali pihak KBRI. Namun informasi yang didapatkan katanya para nelayan Aceh dalam kondisi sehat, meskipun berada di bui.
Menurut Miftach, ada tiga faktor yang menyebabkan para nelayan Aceh melewati batas teritorial negara, pertama karena alami masalah cuaca seperti kabut asap yang melanda Aceh beberapa waktu lalu sehingga tersesat ke wilayah negara lain.
Kemudian, akibat cuaca buruk berupa ombak dan badai besar sehingga membawa kapal motor nelayan masuk ke negara lain, dan karena disebabkan mesin kapal rusak sehingga terombang-ambing ke wilayah negara lain.
"Jadi tiga faktor ini merupakan kasus-kasus yang tidak disengaja. Bukan indikasi mencuri ikan, ngapain (curi ikan) kita di sini banyak ikan," katanya.
Panglima Laot berharap Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk segera mengadvokasi 57 nelayan Aceh tersebut. Baik yang sedang menjalani hukuman yang diharapkan dapat diringankan hukumannya, serta yang sedang proses hukum agar bisa dibebaskan.