Selasa 04 Feb 2020 12:30 WIB

Gus Sholah tak Menerima Honor

Gus Sholah berpesan untuk melawan separatisme, radikalisme harus dengan bahasa santun

Pemakaman Gus Sholah. Keluarga mendoakan KH Solahuddin Wahid usai prosesi pemakaman di komplek Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Senin (3/2).
Foto: Republika/ Wihdan
Pemakaman Gus Sholah. Keluarga mendoakan KH Solahuddin Wahid usai prosesi pemakaman di komplek Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Senin (3/2).

REPUBLIKA.CO.ID; Oleh: Hariqo*

Pada 21 Desember 2015 saya mengadakan diskusi dengan tema “Gotong Royong Memperjuangkan Kepentingan Nasional Lewat Media Sosial” di kantor MUI Kota Bogor.

Acara itu sukses, narasumber utamanya KH. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Saya seperti mimpi beliau berkenan hadir, begini ceritanya.

Saya bingung mencari narasumber level nasional yang keren,  teman menyarankan Gus Sholah, tapi dia tidak tahu jalurnya. Saya setuju, masalahnya, bagaimana mungkin menghadirkan beliau, Kiai kharismatik, ulama besar, cucu pendiri Nadhlatul Ulama, pengasuh pesantren terkenal Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur.

Ada peluang. Zakianto Arief, putranya KH, Saifuddin Arief (Pimpinan Ponpes Darunnajah, Jakarta) memberi saya nomor kontak Gus Sholah.  “Hubungi aja bro, beliau sering ke Darunnajah,” kata Zakianto. “Tapi saya bukan orang NU bro”, dijawab Zaki “Beliau juga bukan orang Bukittinggi bro.”

Saya paksa diri untuk berani mengirim pesan lewat whatsapp. Selang Tiga jam, Gus Sholah minta kerangka acuan serta pokok bahasan, saya lakukan. Beliau membalas “Oke, saya dari Jombang ke Soetta langsung ke Bogor, mohon saya gak usah dijemput”. Saya girang banget.

photo
Gus Sholah

Gus Sholah datang sebelum acara, dan pulang setelah panitia membereskan tempat acara. Cucu pendiri NU ini juga dengan halus menolak honor yang diberikan panitia. Dalam hati saya, jika honor diskusi beliau tidak menerima, apalagi honor mengisi pengajian.

Dalam diskusi itu Gus Sholah mengatakan untuk melawan separatisme, radikalisme harus dengan bahasa yang baik, santun dan argumen yang kuat. “Apabila kita mampu menerima perbedaan di internal umat Islam, maka mudah kita menerima perbedaan dimanapun juga. Keberagaman sudah ada sebelum kita dan bangsa ini lahir,” kata Gus Sholah.

Kami yang menyaksikan terkesan sekali. Gus Sholah menolak dijemput, menolak diantar, menolak honor, menolak diambilkan air minum, menolak merepotkan panitia. Saya tidak pernah nyantri sama jenengan Gus Sholah, tapi jenengan Kiai saya.

Sebagian hasil diskusi saya bikin artikel, lalu dikirim ke Republika. Alhamdulillah dimuat. Saya foto dan sampaikan ke Gus Sholah dan dibalas “Terima kasih, oke saya baca”. Percakapan itu saya simpan sampai sekarang.  Santri mana yang tidak bahagia tulisannya dibaca oleh Kiai-nya. Alfatihah dan surga Allah untuk KH. Salahuddin Wahid. Allahumma amiiin.

*Hariqo, pengamat media sosial dari Komunikonten, Co Founder Global Influencer School

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement