Kamis 30 Jan 2020 17:18 WIB

Musim Hujan, Harga Garam Petambak Tetap Rendah

Harga garam petambak saat musim hujan biasanya di kisaran Rp 500-Rp 600 per kg

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Nidia Zuraya
Petambak sedang memanen garam. ilustrasi
Foto: Dok Koperasi Garam Segarajaya
Petambak sedang memanen garam. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Musim hujan membuat masa produksi garam di tingkat petambak garam di Kabupaten Indramayu terhenti. Meski hal itu membuat harga garam di tingkat petambak sedikit naik, namun nilainya belum memberi keuntungan pada petambak.

Salah seorang petambak garam di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Robedi, menyebutkan, harga garam di tingkat petambak di daerahnya saat ini ada di kisaran Rp 350 per kilogram (kg). Harga itu sedikit naik dibandingkan harga saat pertama kali masuk musim hujan pada akhir 2019 lalu.

Baca Juga

"Harganya naik hanya sekitar Rp 50 per kg,’’ ujar Robedi kepada Republika.co.id, Kamis (30/1).

Meski naik, Robedi menilai, harga garam saat ini masih cukup rendah. Dalam kondisi normal, harga garam di tingkat petambak saat musim hujan biasanya di kisaran Rp 500 – Rp 600 per kg.

Menurut Robedi, naiknya harga garam saat musim hujan memang biasa terjadi. Pasalnya, saat musim hujan tiba, produksi garam di tingkat petambak otomatis terhenti. Akibatnya, pasokan garam menjadi berkurang.

Namun, pada tahun ini kondisinya berbeda. Meski masa produksi terhenti, namun stok garam di tingkat petambak masih berlimpah. Garam tersebut menumpuk karena kurangnya pembeli selama masa produksi garam pada 2019 dan 2018 akibat masuknya garam impor.

"Di wilayah Kecamatan Losarang ini saja stoknya masih ada sekitar puluhan ribu ton,’’ kata Robedi.

Robedi pun mengaku masih menyimpan stok garam di gudangnya sekitar 600 ton. Stok itu merupakan sisa produksi pada 2019.

Selain stoknya yang menumpuk, kondisi tersebut juga membuat harga garam di tingkat petambak sepanjang 2019 terjun bebas. Di masa awal panen pada Juli 2019, harga garam di tingkat petambak di Kecamatan Losarang hanya di kisaran Rp 300 – Rp 400 per kg. Harga itu terus menurun hingga menjadi Rp 270 – Rp 300 per kg pada September.

Bahkan, pada akhir November 2019, harga garam hanya mencapai Rp 150 – Rp 200 per kg. Harga itu disebut merupakan yang terendah di wilayah itu sejak 12 tahun terakhir.

Akibat rendahnya harga garam saat itu, sejumlah petambak garam bahkan ada yang memilih menelantarkan lahannya yang siap panen. Pasalnya,  hasil panen yang diperoleh tidak bisa menutup modal yang dikeluarkan.

Sementara itu, meski saat ini harga garam sudah mulai naik menjadi Rp 350 per kg, namun Robedi tetap memilih untuk menyimpan stok garam yang dimilikinya. Dia baru akan melepas simpanan garamnya jika harganya sudah lebih naik lagi.

Robedi menyatakan, harga garam di tingkat petambak idealnya bisa mencapai Rp 500 – Rp 600 per kg. Dia menilai, besaran harga tersebut akan bisa memberikan keuntungan pada petambak garam.

"Sekarang sih kalaupun jual juga hanya sedikit-sedikit saja, hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan keluarga,’’ tutur Robedi.

Robedi menambahkan, para pembeli garam miliknya saat ini sebagian besar berasal dari luar daerah. Selain dari Jakarta, Bandung dan Sukabumi, adapula pembeli yang berasal dari Sumatera. Para pembeli biasanya membeli sebanyak 30 – 40 ton untuk sekali pembelian.

Terpisah, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Indramayu, AR Hakim, menyebutkan, produksi garam petambak di Kabupaten Indramayu sepanjang 2019 lalu mencapai 361.106,59 ton.

"Jumlah itu terealisasi 93,68 persen dari target yang mencapai 385.464,21 ton,’’ terang Hakim.

Hakim mengakui, garam milik petambak di Kabupaten Indramayu pada 2019 lalu kebanyakan tak laku terjual. Pasalnya, pembeli yang berminat membeli garam milik petambak sangat minim.

Sentra garam di Kabupaten Indramayu selama ini tersebar di sejumlah daerah. Selain di Kecamatan Losarang, tambak garam juga banyak terdapat di Kecamatan Kandanghaur dan Krangkeng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement