REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa tersangka dugaan korupsi pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II, RJ Lino, Kamis (23/1). RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember tahun 2015.
Ketua Umum Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) Nova Sofyan Hakim berpendapat, pemeriksaan yang dilakukan KPK terhadap RJ Lino akan membuka kotak pandora dugaan korupsi lainnya di Pelindo II.
"Jika terbukti, RJ Lino menjadi ancaman berat bangsa atas warisan korupsi Pelindo II. Padahal, pelabuhan merupakan gerbang ekonomi nasional,” ungkap Nova dalam siaran persnya, Sabtu (25/1).
Karena itu, Nova meminta aparat penegak hukum lebih serius mengusut berbagai dugaan korupsi di Pelindo II dan masyarakat tidak terkecoh pernyataan menyesatkan yang disampaikan RJ Lino setelah pemeriksaan.
“Pernyataan RJ Lino bahwa ketika diangkat sebagai Dirut pada 2009, PT Pelindo II hanya memiliki aset Rp. 6,4 Triliun jelas menyesatkan. Faktanya, aset Pelindo II di Tanjung Priok saja lebih dari Rp 25 Triliun dan Aset Pelindo II di 12 Cabang nilainya lebih dari Rp 40 Triliun. Jumlah aset ini akan lebih besar jika ditambah dengan JICT dan KSO TPK Koja,” kata Nova.
Nova menambahkan, sebelum RJ Lino menjadi Dirut, Pelindo II memiliki uang kas setara Rp 1,5 triliun dan ketika ditinggalkan RJ Lino, Pelindo II malah memiliki utang global bond yang bermasalah secara hukum senilai Rp 21 triliun.
Adanya dana global bond menyebabkan perseroan harus menanggung beban bunga sebesar hingga Rp 150 miliar setiap bulan. Selain itu, sampai saat ini dana global bond masih mengendap 50 persen sehingga Pelindo II harus berjibaku agar tidak gagal bayar yang bisa berakibat lepasnya pengelolaan pelabuhan karena jerat hutang tersebut.
Selain itu, sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut, ada empat proyek di PT Pelindo II yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 6 triliun. Empat proyek tersebut proyek pengadaan 3 QCC dan pengadaan 10 unit mobile crane yang kasusnya masing-masing ditangani Bareskrim Polri.
Keempat proyek tersebut meliputi: Perpanjangan kontrak JICT (indikasi kerugian keuangan negara Rp 4,08 triliun), perpanjangan kontrak KSO TPK Koja ( Rp 1,86 triliun), penerbitan global bond (Rp 744 miliar) dan pembanguan terminal Petikemas Kalibaru (Rp 1,4 triliun).
“Kesimpulan dari audit investigasi BPK jelas menyebut indikasi bukan potensi, sehingga kerugian negara secara hitungan keuangan sudah terjadi, aparat penegak hukum tinggal melakukan pembuktian terhadap bukti dan pihak terlibat yang sudah tercantum dalam audit investigatif tersebut,” kata Nova.