Kamis 23 Jan 2020 16:16 WIB

Indeks Korupsi Indonesia Naik Dua Poin

Transparency International Indonesia menyebut indeks persepsi korupsi Indonesia.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Ilustrasi korupsi
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) melaunching indeks persepsi korupsi (IPK) untuk Indonesia 2019. Dalam penilaiannya, TII mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara.

Manajer Riset TII, Wawan Heru Suyatmiko menerangkan, penialaian indeks persepsi korupsi didasarkan pada skor. Menurutnya, skor itu berawal dari 0 yang berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Baca Juga

"IPK Indonesia pada 2019 berada di skor 40 dan berada di peringkat 85 dari 180 negara yang di survei," kata Wawan di Gedung Sequis Centre di Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (23/1).

Wawan menuturkan, skor ini meningkat dua poin. Diketahui, pada 2018 IPK Indonesia pada skor 38. Hal ini menjadi penanda bahwa perjuangan bersama melawan korupsi yang dilakukan Pemerintah, KPK, lembaga keuangan dan bisnis serta masyarakat sipil yang menunjukkan upaya positif.

Wawan mengatakan, kenaikan skor ini salah satunya dipicu penegakan hukum yang tegas kepada pelaku suap dan korupsi. Sementara penurunan skor dipicu maraknya suap dan pungutan liar pada proses ekspor-impor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, hingga proses perizinan dan kontrak.

"Peningkatan skor ini menunjukkan perjuangan pemerintah dan KPK dalam memberantas korupsi membawa upaya positif," ujarnya.

Meski demikian, menurut Wawan, terjadi kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi di sejumlah negara. Di antaranya Kanada yang turun empat poin, Perancis turun tiga poin, Inggris turun tiga poin, dan Amerika Serikat turun dua poin.  Skor penilaian ini, lanjut Wawan, dilakukan sebelum Oktober 2019. Artinya sebelum berlakunya UU Nomor 19/2019 perubahan atas UU Nomor 30/2002 tentang KPK.

"Skor penilaian ini dilakukan sebelum Oktober 2019," ucap Wawan.

Wawan menyebut lima negara yang memiliki IPK sama dengan Indonesia diantaranya, Burkina Faso, Guyana, Lesotho, Trinidad and Tobago dan Kuwait. Sementara itu, Sekertaris Jenderal TII Dadang Trisasongko menyampaikan, IPK Indonesia sulit menembus angka 50 karena masih tingginya problem korupsi politik dan korupsi pada ranah hukum. Bahkan, akibat IPK Indonesia naik menjadi 40 hal ini menjanjikan pada sektor ekonomi.

"Mengapa sulit menembus 50, karena ada problem korupsi politik dan hukum," ujar Dadang.

Bahkan Dadang pun menyoroti adanya revisi UU KPK, dia menyebut hal ini ke depan dapat mempengaruhi IPK Indonesia ke depan. Karena skor IPK ini dilakukan sebelum adanya revisi UU KPK.

"Itu dianalisis sebelum terjadinya revisi UU KPK," ucap Dadang.

Revisi UU KPK itu, sambung Dadang, dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga anti rasuah.  Dadang menuturkan butuh kemauan dari Jokowi untuk memimpin pemberantasan korupsi ke depan jika ingin IPK meningkat.

Ia juga membandingkan dengan IPK Malaysia yang berhasil naik dua poin dari 51 menjadi 53 pada tahun 2019. Dadang mengatakan, hal itu tak lepas dari kemauan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad dalam memberantas korupsi.

"Perbandingan dengan Malaysia mereka punya Mahathir yang berani menindak korupsi besar Najib Razak. Jadi kita harap Jokowi bisa memimpin gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia," terangnya.

Sementara anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris mengapresiasi hal ini. Menurutnya, IPK Indonesia ke depan harus lebih baik lagi. "Skornya meningkat dari 38 menjadi 40  ini patut diaprsiasi," kata Syamsuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement