Selasa 21 Jan 2020 13:53 WIB

Status Ibu Kota Negara Baru, Otonom apa Administratif?

Pemerintah mengusulkan ibu kota negara baru berstatus administratif.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Foto aerial kawasan ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara
Foto aerial kawasan ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, status daerah ibu kota negara baru masih rancangan yang akan dibahas bersama DPR RI. Namun, wacana yang muncul, pemerintah mengusulkan ibu kota negara baru berstatus administratif.

Akmal mengaku tak tahu pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait status ibu kota negara apakah daerah otonom atau daerah administratif. Jika ibu kota tetap masuk ke Provinsi Kalimantan Timur dan Presiden memilih administratif, bisa saja kota berbentuk administratif atau provinsi administratif.

"Kalau kota administratif itu seperti Jakarta Pusat, dia tidak punya DPRD. Boleh enggak provinsi administratif? Boleh saja. Kita enggak tahu pilihan presiden seperti apa, apakah otonom atau administratif, kita enggak tahu," ujar Akmal kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/1).

Akmal menuturkan, daerah administratif tidak memiliki DPRD dan kepala daerah ditunjuk langsung presiden. Sehingga tidak ada pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mencegah konflik politik lokal di ibu kota negara yang baru nanti.

Di sisi lain, kata Akmal, bisa juga dilakukan kombinasi daerah otonom yang kepala daerahnya dipilih DPRD. Akan tetapi, kemungkinan untuk tahap awal dipilih kepala daerahnya terlebih dahulu, DPRD menyusul pada pemilihan 2024 nanti.

Akmal mengatakan, kurang lebih ada empat pilihan menentukan status ibu kota negara baru. Diantaranya daerah otonom, daerah kawasan khusus, daerah otonom dengan kewenangan terbatas, serta daerah mix antara otonom dan kawasan khusus.

Menurut Akmal, status administratif lebih memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di ibu kota negara nanti. Sebab, pemerintahannya di bawah kewenangan presiden untuk menunjang penyelenggaraan pemerintah pusat yang berada di ibu kota.

"Lebih gampang, karena kan semuanya direct langsung dari presiden. Kalau ada DPRD itu akan masuk politik lokalnya panjang," kata Akmal.

Sementara, lanjut dia, penunjukan kepala daerah di ibu kota negara baru akan diatur sesuai peraturan perundang-undangan. Tentunya pun sesuai dengan konstitusi yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement