Senin 20 Jan 2020 06:01 WIB

Memodifikasi Cuaca demi Cegah Banjir, Bak Melawan Sunatullah

Teknik modifikasi cuaca seperti memutus siklus hujan yang mestinya turun di daratan.

Warga berjalan di tengah banjir menggunakan payung saat hujan. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Rajanish Kakade
Warga berjalan di tengah banjir menggunakan payung saat hujan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Bencana banjir pada 1 Januari di Jabodetabek yang didahului oleh hujan deras semalam suntuk sekali lagi membuktikan fakta telah rusaknya lingkungan di wilayah ibu kota dan daerah penyangganya. Kala air yang tumpah dari langit pada saat-saat tertentu membeludak, lingkungan di Jabodatebek sudah tak kuasa lagi menerimanya.

Kondisi di hulu (Bogor dan sekitarnya) sebagai resapan air sudah tak lagi memadai. Sementara, daerah hilir di mana sungai dan waduk tak kalah rusak, mengakibatkan air meluncur di permukaan tanah dengan cepat tak terbendung hingga menerjang permukiman.

Dikutip dari laman resminya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamini, bahwa banjir memang erat kaitannya dengan kerusakan lingungan. Frekuensi hujan yang tinggi dan secara terus-menerus seperti yang terjadi pada malam tahun baru 2020 lalu, tak seimbang dengan daya dukung lingkungan dan fungsi tanah sebagai resapan air hujan.

Bicara luasan daerah resapan di Jabodetabek pun rasanya tak lagi relevan. Perubahan tata guna lahan, rawa-rawa telah lama jadi permukiman, industrialisasi, bangunan-bangunan beton, dan lainnya, semua itu mengakibatkan tak adanya kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah.

Padahal secara sains, air diyakini memiliki siklus yang tetap, yaitu hujan, masuk ke bumi, sungai, atau meresap. Air baik yang di laut maupun daratan kemudian kembali menguap, membentuk awan dan kemudian hujan. Volume air di bumi itu sebenarnya tetap dari waktu ke waktu.

Dalam Al Quran surat Az-Zukhruf ayat 11, pun telah ditetapkan, bahwa, hujan sebagai air yang dikirimkan menurut ‘kadar tertentu’. Allah SWT berfirman, “Dia Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan)...”

Ayat di atas menunjukkan, bahwa fenomena alam yang ditandai dengan turunnya hujan dari langit ke bumi adalah sunatullah, atau kebiasaan atau cara Allah dalam mengatur alam dunia. Saat dunia ini mengalami ketidakseimbangan, maka dengan sendirinya dunia akan mencari jalan untuk menyeimbangkan diri lagi.

Ihwal keseimbangan alam juga ditegaskan dalam Alquran surah Ar-rahman ayat 7, dikatakan, "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan)."

Jika merujuk pada firman Allah SWT, sebenarnya hujan turun ke bumi dalam kadar atau takaran yang tepat. Sebagian saintis Islam merumuskan takaran tepat itu termasuk curah, volume, hingga kecepatan turunnya hujan dari langit ke bumi. Jika tidak tepat, taruhlah misalnya hujan diturunkan dengan kecepatan melebihi takarannya, sudah pasti bumi mengalami kehancuran setiap kali turun hujan.

Kini, lantaran hujan lebat telah berujung bencana yang sampai memakan korban jiwa, pemerintah lewat institusi terkait seperti BPPT pun mencari cara untuk mencegah hujan turun di daratan. Lewat teknik modifikasi cuaca, kumpulan awan dicegah bergeser ke daratan. Awan-awan itu kemudian disemai dengan puluhan ton garam yang diangkut dengan pesawat TNI AU sehingga hujan turun di selat Sunda, Laut Utara Jawa, atau kawasan Ujung Kulon sebelum tiba di daratan Jabodetabek.

Teknik modifikasi cuaca yang dilakukan BPPT dkk terbukti sukses. Hingga kini, tidak terjadi lagi peristiwa hujan ekstrem meski BMKG telah memprakirakan hujan dengan intensitas seperti malam tahun baru lalu masih akan terjadi beberapa kali lagi. Paling terakhir, BMKG memprediksi potensi hujan ekstrem terjadi pada 17-25 Januari yang juga direspons oleh BPPT dkk dengan teknik modifikasi cuaca.

Teknik modifikasi cuaca di atas memang membawa manfaat, mencegah bencana banjir setidaknya sampai musim hujan awal tahun ini berakhir. Pemerintah pun pastinya lebih rela mengeluarkan banyak anggaran untuk operasional teknik modifikasi cuaca ketimbang harus menanggung dampak ekonomi, sosial, hingga politik akibat banjir.

Namun, dalam konteks siklus tetap air yang ada di bumi yang sudah dijabarkan sebelumnya, dampak jangka panjang dari teknik modifikasi cuaca ini juga perlu diperhitungkan. Jika air hujan hasil penguapan air laut menjadi awan dipercepat turunnya di lautan, lalu bagaimana cadangan air di daratan yang semestinya diperoleh dari jatah siklus yang sudah ditetapkan? Daratan menjadi tidak kebagian jatah menyerap air hujan sesuai takaran.

Semoga teknik modifikasi cuaca tidak menjadi solusi permanen dan pemerintah terkait baik Jabodetabek dan pusat melakukan percepatan revitalisasi infratruktur terkait hujan, perluasan daerah resapan, normalisasi-naturalisasi sungai di daratan dan langkah-langkah perbaikan lingkungan lainnya di daratan.

Jika siklus yang sudah menjadi ketetapan kerap diputus oleh teknologi modifikasi cuaca, bukan tidak mungkin kala musim kemarau, cadangan air di daratan benar-benar habis dan menderitalah kita dengan bencana kekeringan. Padahal, seperti suatu bait puisi, kita seharusnya percaya bahwa “hujan tidak pernah salah”. Yang salah itu ya kita sebagai manusia yang tidak mampu mencegah hujan menjadi banjir.

*penulis adalah jurnalis Republika.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement