REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota Yogyakarta akan mengintensifkan pengawasan terhadap operasional pondokan agar tetap sesuai dengan izin yang dimiliki. Pengawasan agar fungsinya tidak disalahgunakan untuk fungsi lain, termasuk operasional hotel virtual.
“Aturan untuk pondokan sudah cukup jelas. Salah satunya adalah tidak boleh menyewakan kamar secara harian. Berbeda dengan manajemen hotel yang memungkinkan untuk menyewakan kamar secara harian,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Yogyakarta Agus Winarto di Yogyakarta, Ahad (19/1).
Menurut dia, penyalahgunaan fungsi pondokan mungkin terjadi di Kota Yogyakarta sehingga pemilik pondokan memilih menyewakan kamar secara harian. Sebab, berbagai fasilitas pendukung untuk kamar sudah cukup lengkap layaknya kamar hotel.
“Mungkin pondokan atau kamar kost tersebut disebut sebagai kost eksklusif. Tetapi seharusnya tetap dioperasionalkan seperti pondokan. Tidak boleh untuk sewa harian,” katanya.
Karena itu, Agus mengatakan, akan mengintensifkan pengawasan. ”Kalau memang sudah memiliki izin dan dioperasionalkan sesuai aturan untuk pondokan, maka tidak ada masalah. Kecuali, jika kamar disewakan harian. Itu baru masalah,” katanya.
Agus memastikan, Satpol PP Kota Yogyakarta akan bertindak tegas sesuai aturan yang berlaku yaitu Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pondokan. Pemilik pondokan terancam sanksi berupa hukuman penjara maksimal tiga bulan dan denda maksimal Rp7,5 juta apabila tidak memiliki izin.
Pemilik pondokan juga dilarang menyelenggarakan pondokan campur atau untuk laki-laki dan perempuan dalam satu bangunan. Pemilik pondokan tidak diperbolehkan menyewakan pondokan dalam waktu kurang dari satu bulan.
Pemondok pun tidak diperbolehkan menerima tamu lawan jenis di kamar. “Dalam perda tersebut juga diatur tentang tata tertib yang harus dimiliki oleh setiap pondokan. Penyusunan tata tertib pun harus melibatkan RT setempat,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Yogyakarta bersama PHRI juga berencana menyusun aturan terkait operasional hotel virtual yang kini menjamur di kota wisata tersebut untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sejumlah masukan dari PHRI yang sudah diterima Pemerintah Kota Yogyakarta di antaranya, adalah persaingan usaha antarhotel dan bisnis hotel virtual yang diketahui memanfaatkan berbagai bangunan yang semula tidak diperuntukkan untuk usaha hotel.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menyebut, regulasi hotel virtual tersebut akan diawali dari permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) sehingga fungsi bangunan yang digunakan untuk operasional hotel sesuai dengan izin yang diberikan. “Tidak serta merta pondokan dapat dimanfaatkan untuk usaha hotel,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana yang mengatakan sistem operasional hotel virtual justru berpotensi merugikan konsumen karena tidak ada standarisasi layanan yang diberikan. “Perbedaan harga sewa pun terkadang sangat jauh. Saat ‘low season’ bisa sangat murah tetapi saat ‘peak season’ bisa melonjak berkali-kali lipat,” katanya.
Ia juga menyebut, akan menyampaikan permasalahan mengenai operasional hotel virtual tersebut saat pertemuan nasional organisasi tersebut.