Sabtu 18 Jan 2020 05:23 WIB

Dewas TVRI akan Tunjuk Kuasa Hukum Hadapi Helmy Yahya

Pemberhentian Helmy Yahya dari jabatan dirut TVRI menuai polemik.

Red: Nur Aini
Direktur Utama LPP TVRI nonaktif Helmy Yahya (kanan) didampingi kuasa hukum Chandra Hamzah (tengah) menyampaikan pembelaan terkait pemberhentian dirinya oleh Dewan Pengawas LPP TVRI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Direktur Utama LPP TVRI nonaktif Helmy Yahya (kanan) didampingi kuasa hukum Chandra Hamzah (tengah) menyampaikan pembelaan terkait pemberhentian dirinya oleh Dewan Pengawas LPP TVRI saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia (TVRI) Arief Hidayat Thamrin mengatakan akan menunjuk kuasa hukum guna menghadapi kuasa hukum Helmy Yahya di pengadilan.

"Oh itu pasti, kami akan tunjuk 'lawyer' nanti kalau sudah sampai Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Arief di Jakarta, Jumat (17/1).

Baca Juga

Namun, dia mengatakan untuk sekarang hal itu belum dilakukan karena proses pengajuan gugatan belum dilakukan. Ia menambahkan bahwa kewenangan Dewan Pengawas salah satunya adalah mengangkat dan memberhentikan anggota Dewan Direksi.

"Sesuai pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 tentang LPP TVRI, Dewan Pengawas berhak memberhentikan anggota Dewan Direksi," kata Arief.

Adapun jika penunjukan Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Supriyono yang sebelumnya menjabat Direktur Teknik TVRI dianggap kuasa hukum Helmy tidak memiliki dasar, maka Arief mengatakan dirinya hanya bertindak untuk menghindari kevakuman dan menjaga keberlanjutan organisasi.

"Otomatis kalau memberhentikan, saya harus menunjuk penggantinya (Helmy Yahya). Logikanya saja itu mas, agar tidak terjadi kevakuman dan menjaga keberlanjutan organisasi TVRi," kata Arief.

Berdasarkan PP 13/2005 tersebut, maka Dewan Pengawas TVRI menyampaikan Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) kepada Helmy Yahya pada 4 Desember 2019. Helmy mengungkapkan sebelum pemberhentian dirinya, Dewan Pengawas terlebih dulu menonaktifkan dirinya dari posisi Direktur Utama (Dirut).

"Tanggal 4 Desember 2019 saya dinonaktifkan. Saya kaget, oleh karena itu tanggal 5 Desember saya melakukan perlawanan dengan mengatakan SK itu tidak sah," kata Helmy di Jakarta, Jumat.

Sesuai pasal 24 PP tersebut juga, Helmy berhak mengajukan surat pembelaan diri kepada Dewan Pengawas.

"Saya menjawab 27 halaman dengan lampiran 1.200 halaman, nggak main-main. Semua catatan yang kata mereka menjadi catatan saya, saya jawab dan sudah saya sampaikan 18 Desember 2019," ujar Helmy.

Melalui sidang pleno, Dewan Pengawas TVRI menyatakan tidak menerima jawaban Helmy Yahya, karena Helmytidak memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbayar antara lain Liga Inggris. Selain itu, ada ketidaksesuaian pelaksanaan re-branding TVRI dengan rencana kerja anggaran tahunan LPP TVRI 2019 yang ditetapkan oleh Dewan Pengawas.

Helmy juga dianggap melakukan mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen Aparatur Sipil Negara. Helmy juga dianggap melanggar beberapa asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, dan asas keterbukaan. Terutama berkenaan dengan penunjukan/pengadaan Program Kuis Siapa Berani.

Atas dasar itu, Dewan Pengawas akhirnya mengambil keputusan dalam rapat pleno untuk memberhentikan dengan hormat Helmy Yahya efektif mulai tanggal 16 Januari 2020. Helmy mengatakan bahwa suara Dewan Pengawas atas pemberhentian dirinya tidak bulat. Menurut Helmy, ada satu anggota Dewan Pengawas yang enggan menandatangani surat pemberhentian terhadap dirinya.

"Dewan Pengawas ada lima. Salah satunya ibu Supra, beliau beri pendapat berbeda dan tidak ikut paraf, jadi suara Dewan Pengawas tidak bulat," ujar Helmy.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement