Jumat 17 Jan 2020 17:18 WIB

OTT Jadi Parameter Jokowi Nilai KPK Sekarang tidak Lemah

"Buktinya tadi sudah saya sampaikan. KPK kan melakukan OTT," kata Jokowi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/1).
Foto: Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/1).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciaty Saputri, Dian Fath Risalah, Rizkyan Adyudha, Antara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya buka suara terhadap opini yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini lemah pascarevisi UU KPK. Bagi Jokowi, dua operasi tangkap tangan (OTT) pada awal tahun ini terhadap Bupati Sidoarjo Saeful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, menjadi bukti KPK masih bekerja sebagaimana mestinya.

Baca Juga

"Buktinya tadi sudah saya sampaikan. KPK kan melakukan OTT, ke bupati dan ke KPU meskipun komisionernya masih baru, dewasnya masih baru," ujar Jokowi kepada awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/1).

Kendati demikian, Jokowi menilai masih banyak aturan di KPK yang harus diperbaharui dan dibuat kembali. Jokowi pun enggan berkomentar lebih banyak, lantaran tak maudianggap mengintervensi penyelidikan di KPK.

"Saya kira memang di KPK ini masih banyak aturan-aturan yang harus dibuat dan diperbaharui dan saya tidak mau berkomentar banyak nanti dianggap melakukan intervensi," tambahnya.

KPK pada awal tahun ini memang menggelar dua OTT yakni untuk kasus Bupati Sidoarjo Saeful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Polemik muncul di kasus Wahyu, di mana hingga kini KPK tidak melakukan penyegelan dan penggeledahan kantor DPP PDIP.

Dalam kasus Wahyu, PDIP ikut terseret dalam pusaran kasus setelah satu kadernya, Harun Masiku (buron) ikut menjadi tersangka. Berbeda dengan tempat lain terkait kasus Wahyu yang sudah digeledah penyidik KPK, kantor DPP PDIP hingga kini 'belum tersentuh' lantaran belum turunnya izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK bentukan Jokowi.

Wakil Ketua Komisi Peberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron pada Rabu (15/1) lalu mengungkap fakta belum turunnya izin dari Dewas KPK itu. Ghufron mengaku tidak tahu alasan Dewas KPK yang belum menerbitkan izin untuk melakukan penggeledahan kantor PDIP. Namun, pihak KPK sudah mengajukan permohonan izin tersebut sesuai dengan prosedur.

Saat ditanya apakah Dewas menghambat proses penyidikan di KPK, Ghufron mengatakan masyarakat bisa menilainya sendiri. Namun, secara prosedural pihak KPK sudah mengajukan izin penggeledahan Kantor DPP PDIP itu kepada Dewas.

"Persoalan izin itu diberikan secara cepat atau lambat, kami menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Pengawas. KPK tidak bisa berbuat apa-apa karena sesuai aturan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan," ucap mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Ghufron mengatakan, penggeledahan tempat-tempat selain kantor KPU RI akan disesuaikan dengan hasil pengembangan pemeriksaan. Seperti, kantor DPP PDIP atau kantor-kantor yang lain akan disesuaikan dengan kebutuhan pemeriksaan penyidik.

"Semua tempat yang akan digeledah akan diberi garis KPK (KPK line) sambil menunggu izin dari Dewan Pengawas turun, sehingga ruangan itu terisolasi untuk mengantisipasi risiko hilangnya alat bukti yang diperlukan KPK," ujarnya.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, pada Selasa (14/1) mengatakan, adanya izin dari Dewas untuk dilakukannya proses penyadapan, penggeledahan maupun penyitaan adalah informasi yang rahasia. Sehingga dia tidak akan memberikan informasi itu kepada publik.

"Dewas sudah mengeluarkan izin atau belum. Saya tidak akan bisa ngomong itu karena itu adalah yang perlu kami rahasiakan. Itu strategi juga dari penanganan suatu perkara. Kalau saya sampaikan orang yang mau digeledah atau barang yang mau disita, kabur semua itu nanti," ujar Tumpak saat jumpa pers di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (14/1).

In Picture: Tim Hukum PDIP Sambangi KPU

photo
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) berjalan bersama Ketua Tim Hukum PDIP I Wayan Sudirta (kanan) dan Koordinator Tim Pengacara PDIP Teguh Samudera (kiri) sebelum melakukan audiensi di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (16/1).

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Jokowi tak buang badan dalam menanggapi lambatnya kerja lembaga antirasuah akibat UU KPK yang baru. Menurut ICW, KPK terhambat dalam penyidikan kasus Wahyu Setiawan.

"Kami mendesak Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. Penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama dari Presiden untuk menyelamatkan KPK," tegas Peneliti ICW, Kurnia Ramadhani, dalam keterangannya, Ahad (12/1).

Kurnia menilai UU KPK baru yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia. Ia menerangkan, setidaknya ada dua kejadian penting dan mesti dicermati dalam peristiwa tangkap tangan yang melibatkan Komisioner KPU tersebut.

Pertama, KPK faktanya terbukti lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDIP. Padahal, sambung dia, dalam UU KPK lama yakni UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun.

Menurut Kurnia, sangat tidak masuk dalam logika bila tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. Kedua, lanjut Kurnia, tim KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut.

Juru Bicara Tim Hukum PDIP Teguh Samudra menjelaskan, penangkapan Wahyu Setiawan serta mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan pihak swasta Syaiful Bahri oleh KPK tidak dapat dikategorikan sebagai OTT.

"Karena menurut hemat kami, tidak sesuai dengan definisi Tertangkap Tangan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP," kata Teguh Samudra di Jakarta, Rabu (15/1).

Teguh menjelaskan, berdasarkan KUHAP, frasa 'tertangkap tangan' adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Sedangkan, berdasarkan keterangan KPK perbuatan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan Wahyu dkk terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Adapun,  OTT dilakukan KPK pada Rabu (8/1) lalu.

Teguh mengatakan, tim hukum berpendapat bahwa apa yang dilakukan KPK tidak dapat dikategorikan sebagai OTT jika mengacu pada KUHAP. Menurutnya, KPK hanya melakukan konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan surat perintah penyelidikan (Sprinlidik) yang ditandatangani oleh Ketua KPK pada 20 Desember 2019 lalu saat terjadinya pergantian pimpinan.

Lebih jauh, tim hukum juga menyinggung berkenaan dengan adanya dugaan suap yang dilakukan oleh dua orang staff Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, penggeledahan kantor PDIP, perihal PTIK dan lain sebagainya. Tim menduga bahwa ada upaya sistematis dari oknum KPK yang melakukan pembocoran atas informasi yang bersifat rahasia dalam proses penyelidikan.

"Hal itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan atau menghancurkan PDI Perjuangan," kata Teguh lagi.

photo
Jejak Harun Masiku

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement