REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan sejumlah langkah terkait kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2014 yang saat ini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain menuding telah terjadi kebocoran surat penyelidikan, PDIP juga berupaya melaporkan penyidik KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Tim hukum PDIP menyambangi Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, yang merupakan gedung lama KPK, untuk menemui Dewas KPK, kemarin sore. "Mau melapor ke Dewan Pengawas," kata anggota tim hukum PDIP I Wayan Sudirta saat tiba.
Tim hukum PDIP langsung menuju petugas resepsionis yang berjaga dan melaporkan maksud kedatangannya untuk menemui Dewas KPK. Namun, petugas resepsionis KPK menanyakan terlebih dahulu apakah sudah membuat janji untuk bertemu Dewas KPK.
"Tidak, sampaikan saja, kalau kamu tidak menyampaikan. Nanti kamu bermasalah. Sampaikan saja, kalau Dewas yang menolak. Kita catat Dewas yang menolak," ujar Wayan Sudirta.
Kemudian, petugas resepsionis pun mencoba mengonfirmasi kepada sekretaris Dewas soal kedatangan tim hukum PDIP tersebut. "Nah, bagus, Dewas mau menerima kita apa tidak," ucap Wayan Sudirta.
Petugas resepsionis pun mendapatkan jawaban dari sekretaris dewas KPK bahwa memang belum ada janji untuk bertemu. "Jadi, tidak mau menerima?" kata Wayan Sudirta, kemudian meninggalkan gedung KPK.
Pada Rabu (15/1) malam, DPP PDIP membentuk tim hukum untuk menghadapi kasus dugaan suap pengurusan penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih yang menjerat kader PDIP Harun Masiku dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan.
Pembentukan tim hukum itu diumumkan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Hukum HAM dan Perundang-undangan Yasonna Laoly yang juga merupakan menteri hukum dan HAM. Tim hukum itu dipimpin oleh I Wayan Sudirta dengan anggota salah satunya Maqdir Ismail.
Pembentukan itu disertai tudingan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh oknum KPK terkait kasus Wahyu Setiawan. Partai berlogo banteng moncong putih itu menilai, hal tersebut pada akhirnya merugikan PDIP.
Selain kadernya yang terseret, kasus tersebut juga diwarnai upaya penggeledahan ke kantor pusat DPP PDIP oleh penyidik KPK. Upaya pengeledahan kala itu dihalang-halangi sejumlah pihak, termasuk kepolisian, sehingga batal dilakukan. Penggeledahan itu disebut terkait status salah seorang tersangka penyuap dalam kasus itu, Saeful, yang merupakan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Maqdir Ismail menilai, salah satu indikasi pelanggaran adalah surat perintah penyelidikan (sprinlidik) KPK dalam kasus dugaan suap itu diteken oleh Agus Rahardjo sebagai ketua KPK yang tengah menjabat pada 20 Desember 2019. Waktu penandatanganan spinlidik itu, menurut dia, sangat mepet dengan pelantikan pimpinan KPK baru pada 22 Desember 2019.
Maqdir juga mengingatkan bahwa salah satu pimpinan KPK saat itu, Saut Situmorang, telah menyatakan mundur dari lembaga antirasuah itu pada 13 September 2019. Lalu, Saut bersama Agus Rahardjo dan Laode M Syarif juga mengikuti langkah serupa dengan menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi pada 12 September 2019.
"Ketika ada tiga orang yang sudah mengundurkan diri, mestinya tidak sah, tidak bisa dilakukan proses hukum oleh mereka. Itu saya kira yang penting," kata Maqdir. Ia tak menyebutkan bahwa sedianya para pemimpin KPK yang mundur dan menyerahkan mandat kala itu sedianya sudah kembali lagi menjabat.
Serangan terhadap KPK selanjutnya datang dari anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Masinton Pasaribu yang menuding terjadinya kebocoran dokumen di KPK. Ia menceritakan, pada Selasa (14/1), sekitar pukul 11.00 WIB, ia menerima sebuah map dari seseorang bernama Novel Yudi Harahap. Ketika map tersebut diterima Masinton, orang tersebut langsung meninggalkannya.
"Pada saat saya buka, map tersebut berisi selembar kertas yang bertuliskan surat perintah penyelidikan KPK dengan nomor 146/01/12/2019, tertanggal 20 Desember 2019 yang ditandatangani Ketua KPK Agus Rahardjo," ujar Masinton kepada wartawan, Kamis (16/1).
Setelah diterimanya surat tersebut, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di KPK. Masinton pun mengingat bahwa saat memimpin Pansus Hak Angket KPK, dirinya sering kali mempertanyakan soal kerahasiaan sebuah informasi. "Kami sebagai anggota Komisi III sering mempertanyakan kepada komisioner KPK tentang adanya pembocoran informasi dan dokumen penanganan perkara yang sedang ditangani oleh KPK kepada media tertentu," ujar Masinton.
Ia kemudian mendesak Dewas KPK mengusut tuntas pembocoran dokumen ini. "Agar KPK menjaga integritas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dikerjakan oleh KPK dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak dan media tertentu," ujar Masinton.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/1).
Republika menelusuri bahwa di KPK sedianya tak ada pegawai bernama “Novel Yudi Harahap”. Pemilik nama yang mirip dengan itu dan cukup ternama adalah penyidik KPK Novel Baswedan dan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Novel merupakan korban penyiraman dengan cairan asam sulfat, sedangkan Yudi adalah ketua Wadah Pegawai KPK yang vokal menolak pelemahan lembaga itu.
Novel Baswedan menegaskan, tak pernah memberikan sprinlidik terkait Masinton Pasaribu. Novel pun mengaku tidak mengetahui nama “Novel” yang dimaksud Masinton. Novel mengungkapkan, saat ini dirinya sedang berada Singapore General Hospital (SGH), Singapura, untuk pengobatan matanya yang terluka dalam serangan air asam.
"Hari Selasa saya tidak ke kantor, hari Rabu (8/1) dan Kamis (9/1) saya berobat ke Rumah Sakit (RS) JEC (Jakarta Eye Center), Menteng. Jadi, saya tidak tahu dan tidak mengikuti kasus yang terkait dengan PDIP itu. Oleh karena itu, terkait kata Masinton yang kalau menyebut dapat dari saya, itu pasti bohong," kata Novel Baswedan menegaskan.
Yudi Purnomo juga menyangkal terlibat pembocoran dokumen. Dengan berkelakar, ia mengirimkan foto wajah yang merupakan gabungan parasnya dengan Novel sebagai sang pelaku.
Pihak KPK juga menyatakan tak tahu-menahu ihwal asal-usul sprinlidik yang dimaksudkan Masinton. Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri, mempertanyakan keaslian surat tersebut lantaran KPK tidak pernah mengedarkan sprinlidik ke pihak yang tidak berkepentingan langsung terkait penyelidikan.
"Kemudian apakah itu asli atau tidak yang ditujukan oleh Pak Masinton tersebut. Jadi, secara substansinya seperti apa kita tidak tahu, namun secara pasti bahwa kami tidak pernah mengedarkan, kami tidak pernah memberikan surat penyelidikan, surat tugas selain kepada pihak-pihak yang berkepentingan langsung terkait penyelidikan tersebut," ujar Ali Rabu (15/1) malam.
Ali menegaskan, KPK tak akan terpengaruh ataupun terganggu dengan polemik tersebut. KPK, kata dia, akan terus bekerja menangani perkara korupsi, termasuk kasus dugaan suap proses PAW caleg PDIP.
"Teman-teman penyidik sedang bekerja. Kami yakini teman-teman penyidik bekerja sesuai aturan hukum, undang-undang. Kami jalankan sesuai mekanisme yang ada," ujar Ali. n nawir arsyad akbar/rizkyan adiyudha/dian fath risalah/antara ed: fitriyan zamzami