Rabu 15 Jan 2020 19:01 WIB

Balai Wyata Guna Lakukan Revitalisasi Fungsional

Polemik yang terjadi di Wyata Guna sudah diproses sejak 2019.

Rep: antara/Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Joko Sadewo
Penyandang disabilitas netra mantan penerima manfaat balai Wyata Guna terlantar di area trotoar Gedung BRSPDSN Wyataguna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Rabu (15/1).
Foto: Abdan Syakura_Republika
Penyandang disabilitas netra mantan penerima manfaat balai Wyata Guna terlantar di area trotoar Gedung BRSPDSN Wyataguna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Rabu (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG-- Kepala Balai Wyata Guna, Sudarsono, mengatakan balai yang dipimpinnya saat ini dalam proses revitalisasi fungsional. Ini merupakan program nasional untuk mengoptimalkan peran balai-balai rehabilitasi sosial milik pemerintah.

"Tujuannya, masyarakat disabilitas diharapkan dapat diberdayakan dan berkiprah setelah mendapat pelayanan rehabilitasi sosial lanjut di Balai Rehabilitasi Sosial," kata Sudarsono, Rabu (15/1).

Dijelaskannya, selama ini, ada kesan bahwa balai rehabilitasi sosial seperti penampungan bagi disabilitas. Padahal menurutnya, fungsi balai lebih dari itu. Yakni diharapkan dapat mendorong kaum disabilitas berdaya sesuai dengan bidangnya.

“Kita ada program transofrmasi, perubahan status panti menjadi balai. Kita ingin balai rehabilitasi sosial ini berkontribusi secara progresif. Jadi pijakan bagi saudara-saudara kita kaum disabilitas agar dapat mengembangkan keberfungsian sosialnya dan kapabilitas sosialnya sehingga bisa berkiprah di masyarakat,” kata Sudarsono.

Salah satu konsekuensi dari transformasi tersebut, menurut dia, adalah adanya batas waktu bagi para penerima manfaat sesuai dengan yang ketentuan. Tujuannya, lanjut Sudarsono, agar para penerima manfaat dapat berkumpul kembali dengan keluarganya, mandiri serta berkiprah di masyarakat.  "Ini yang kita sebut dengan proses inklusi. Kita ingin, saudara-saudara kita diterima di masyarakat. Seperti yang lainnya," jelas Sudarsono.

Kendati demikian, menurut Sudarsono, pemberlakuan ketentuan mengembalikan penerima manfaat kepada keluarga atau ke masyarakat, tidak dilakukan seketika. Tapi melalui proses-proses yang panjang. Selama di balai, mereka diberikan pelatihan dan layanan yang holistik, sistematis dan terstandar. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mereka mandiri.

Mengenai polemik yang terjadi di Wyata Guna, menurut Sudarsono, sebetulnya sudah diproses secara bijaksana sejak 2019. Dijelaskannya, pengelola balai bahkan telah memberikan toleransi kepada para penerima manfaat hingga bulan Juli. Seharusnya, kata dia, mereka seharusnya meninggalkan balai sejak Juni 2019. Pengelola balai juga sudah secara persuasif meminta penerima manfaat untuk berinisiatif mematuhi ketentuan "Banyak penyandang disabilitas sensorik netra lainnya yang antre untuk masuk balai dan mendapatkan pelayanan," ungkapnya.

Selain itu, lanjut Sudarsono, pada 12 Agustus 2019, Kementrian Sosial dan Pemprov Jawa Barat juga sudah rapat untuk mencari solusi bersama. Salah satu keputusannya adalah Dinas Pendidikan Jabar berkomitmen membangun sarana pendidikan berkebutuhan khusus, dengan konsep boarding school yang dilengkapi asrama.

Dinas Sosial Provinsi Jabar juga merencanakan pembangunan panti sosial yang melayani semua penyandang disabilitas termasuk sensorik netra. Pengembangan layanan terpadu nasional ini, kata Sudarsono, merupakan bagian dari komitmen pemerintah meningkatkan pelayanan kepada penyandang disabilitas.

Sudarsono menyayangkan, di tengah proses peralihan dan komunikasi dengan Pemprov tersebut, mencuat isu yang justru kontraproduktif dengan langkah-langkah pemerintah. “Kita duduk bersama, mencari solusi terbaik. Kita semua anak bangsa, tidak mungkinlah saling menegasi,” kata Sudarsono.

Sebelumnya, sekitar 30 mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra diminta meninggalkan asrama Balai Wyata Guna, Kota Bandung sejak Selasa (14/1) malam karena dianggap sudah tidak memiliki hak mendapatkan pelayanan. Mereka pun memilih bertahan di trotoar kantor tersebut untuk meminta kejelasan dan solusi dari pemerintah.

Berdasarkan pantauan, belasan mahasiswa memasang terpal sebagai pelindung dari panas dan hujan. Kemudian, beberapa diantaranya memasang spanduk yang berisi penolakan terhadap regulasi perubahan panti menjadi balai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement