Selasa 14 Jan 2020 21:44 WIB

Sang Pejalan di Pinggir

Selamat jalan Agus Edi Santoso.

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Harganya Rp 6.100,00. Saya membelinya di bursa buku Shopping Center. Tahun 1987. Ya buku itu terbit Juli 1987. Penerbitnya Mizan. Sejak itu saya mengenal namanya: Agus Edi Santoso. Sejak dulu saya terbiasa membaca halaman di balik halaman judul. Isinya judul buku, penulis buku, pemegang copy right, nama penerbit, alamat penerbit, tahun terbit, judul asli (jika itu buku terjemahan), cetakan ke berapa, nomor ISBN, desainer sampul buku, penerjemah (jika itu buku terjemahan), dan penyunting buku. Saya bahkan termasuk orang yang menilai buku dari nama penyunting bukunya, bukan sekadar nama penulisnya. Misalnya Hernowo, penyunting legendaris Mizan.

Saat itu Mizan sedang membuat serial tulisan cendekiawan Muslim Indonesia. Judul buku yang disunting Agus adalah Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Itulah kumpulan tulisan Nurcholish Madjid.

Rupanya, sebagai editor majalah HMI, Agus yang pelahap buku dan tulisan-tulisan bermutu serta gagasan-gagasan besar tentang Indonesia dan pemikiran tentang kenegaraan dan kemasyarakatan, mengoleksi makalah-makalah Cak Nur. Inilah buku yang berisi gagasan-gagasan besar Cak Nur, bahkan menjadi buku Cak Nur yang paling berpengaruh. Buku ini mengalami cetak ulang berkali-kali, terakhir terbit pada 2013. Jika sebelumnya dikatapengantari M Dawam Rahardjo saja maka pada edisi baru ada tambahan kata pengantar oleh Anies Baswedan.

Sebagai mahasiswa sosiologi di tahun kedua saya menyukai tulisan-tulisan Cak Nur, karena Cak Nur banyak menggunakan perspektif sosiologi dalam membahas berbagai masalah. Karena itu buku tersebut saya lahap habis.

Lenon

Beberapa tahun kemudian, saat saya menjadi reporter pemula, saya melakukan liputan di Paramadina di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Inilah markas Cak Nur beserta teman-temannya. Di situ Cak Nur menyebut nama Agus Lenon. Saya bertanya-tanya siapa dia. Namanya unik. Menggunakan nama John Lennon, penyanyi The Beatles.

Saya membayangkan kacamatanya bulat seperti Lennon. Lalu dijelaskan bahwa Agus Lenon adalah nama panggilan Agus Edi Santoso, penyunting buku Cak Nur. Ternyata benar, dia dipanggil Agus Lenon karena gemar berkacamata bulat seperti Lennon. Dia sendiri penggemar John Lennon.

‘Perjumpaan’ berikutnya adalah pada 1997, 10 tahun setelah buku Cak Nur terbit. Kali ini pun masih terkait buku, yaitu momen peluncuran buku. Ya, kali ini Agus menyunting surat-menyurat Cak Nur dengan Mohamad Roem. Judulnya tegas: Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Tempatnya di Gedung RNI di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Malam hari. Buku ini diterbitkan Djambatan.

Roem adalah tokoh senior Masyumi. Surat menyurat itu terjadi pada 1983 ketika Cak Nur sedang studi doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Bersibalas surat itu bermula dari wawancara M Amien Rais dengan Majalah Panji Masyarakat, yang kemudian ditanggapi Roem.

Di era media jejaring saat ini, saya mengalami perjumpaan secara virtual dengan Agus melalui grup whatsapp Kahmi-Pro, sebuah grup diskusi yang digawangi M Ichsan Loulembah. Atribut Pro oleh Ichan diniatkan sebagai aktivis HMI yang terjun di dunia profesional. Karena itu diskusinya diharapkan lebih cair dan lebih berbobot. Ichan menginisiasi grup diskusi ini sejak era mailing list, blackberry, dan kini whatsapp.

Saya menikmati diskusi di grup ini yang kadang liar, sengit, tapi kadang cuma candaan saja. Agus sering bercanda, khususnya dengan Oong alias Fathorrahman Fadli dan juga dengan M Thoriq. Oong dan Agus sama-sama Madura. Agus dari Panarukan, Situbondo. Sedangkan Agus dan Thoriq karena keduanya sesama demonstran saat mahasiswa dan sama-sama kuliah di Yogyakarta. Agus kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, tapi kemudian malang melintang di Jakarta ketika ditarik menjadi pengurus PB HMI.

Beberapa kali saya mengalami pertemuan fisik dengan Agus, terutama saat acara yang menyangkut aktivis HMI. Namun tak ada persentuhan khusus. Boleh dibilang tak saling kenal, kecuali saya mengenalnya dari buku-buku yang ia sunting. Oya, saya juga menyukai buku-buku yang diterbitkan Teplok Press, penerbitan milik Agus.

Penerbit ini menerbitkan buku-buku kiri, khususnya Tan Malaka –seorang komunis yang kemudian murtad dan mendirikan gerakan kiri yang ia namakan Murba. Teplok juga menerbitkan buku-buku kiri progresif lainnya. Saya menyukai desain cover buku Teplok yang menggunakan teknik cukil kayu yang berwarna. Teknik ini memang banyak disukai kalangan marjinal. Memberi kesan keras dan melawan, juga kuat dan tegas. Aktivis 1980-an umumnya memang kiri. Saat itu memang era ideologi.

Era Orde Baru adalah era berkuasanya kapitalisme. Karena gerakan mahasiswa sejatinya adalah gerakan perlawanan, maka kiri adalah ideologi tandingannya. Kiri di sini tak selalu berarti komunis, tapi marxisme dengan segala variannya. Bahkan mahasiswa yang berwarna Islam terpuaskan dengan gaya marxis Ali Syariati, cendekiawan Iran. Buku-buku Syariati juga diterbitkan Mizan. Tentu saja gerakan perlawanan memang muncul juga dari varian Islam karena Islam dipinggirkan oleh Orde Baru. Jika tak terpengaruh kiri, maka yang Islam terpengaruh Ikhwanul Muslimin–sebuah gerakan perlawanan dari Mesir.

Berkelana

Badannya tinggi besar dan tegap. Kulitnya gelap dan tulang-tulang wajahnya menonjol. Kegemaran Agus adalah jalan kaki. Kesukaannya yang bersifat fisikal ini juga sesuai dengan kepribadiannya. Ia senang bergaul. Wawasannya luas. Dan, kaya hati. Ia pengelana. Aktivis kiri umumnya tak menyukai gerakan Islam. Demikian pula dengan gerakan liberal.

Namun semua itu tak berlaku bagi Agus. Pengembaraannya yang luas --baik secara geografis (karena gemar menjelajahi masyarakat-masyarakat kecil di pelosok negeri), secara sosial (karena bergaul dengan beragam ras, kelas sosial, agama, maupun pengelompokan sosial), juga secara pemikiran (ia pelahap bermacam pemikiran) – telah membuat dirinya menjadi bijak dalam melihat persoalan. Kemuakannya hanya satu: pada penguasa, siapa pun mereka. Sangat khas marxis. 

Di saat para aktivis jalanan masuk kekuasaan di era Gus Dur, Agus memilih tetap bergerak di bawah. Di saat aktivis jalanan di era Jokowi masuk kekuasaan dan BUMN, Agus tetap di pinggiran. Baginya, penguasa sama saja. Tugas kaum idealis tetap menemani orang-orang yang terpinggirkan. Namun ia tak lagi seperti dia aktif di Pijar, wadah demonstran paling berani era Orde Baru.

Di masa seniornya ia terkesan berwajah developmentalis. Tak heran jika kemudian ia bergabung di Lazismu, lembaga penghimpun zakat, infak, sedekah, dan wakaf milik Muhammadiyah. Lembaga semacam ini berwajah developmentalis, tidak strukturalis yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan.

Tak heran jika ia tetap akrab dengan kawan-kawannya yang kini sedang asyik masyuk dalam gelimang kuasa. Walaupun kata-kata kerasnya tetap terlontar dalam grup-grup diskusi. Tapi kemudian ia cairkan dengan canda. Agus juga dikenal sebagai orang yang enteng bersilaturahim.

Agus adalah seorang kiri yang tak pernah meninggalkan Islam. Walau tak saling kenal, tapi Agus memiliki jariah pada saya lewat buku-buku yang ia sunting. Semoga itu menjadi pelapang jalan menuju surga.

Pada Jumat (10/1) malam Agus pergi untuk selamanya. Kabar duka itu menyebar cepat. Saya mengetahuinya esok harinya ketika hendak berangkat ke acara pidato guru besar Prof Dr Arif Satria. Maklum tadi malam tidur cepat. Dunia aktivis segera menggeliat. Sebetulnya sudah lama Agus menderita sakit jantung. Kepalanya pun diplontos. Badannya jadi kurus. Rambut tebal yang selalu belah tengah itu tak lagi menjabrik di kepalanya. Tapi kacamata lennonnya tetap bertengger. Selamat jalan kamerad...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement