Senin 13 Jan 2020 16:36 WIB

Wasathiyyah Kata dan Dunia Nyata

Wasathiyyahsangat selaras dengan konsep keadilan dalam Islam di posisi tengah.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Foto: Dokumen.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haedar Nashir

Indonesia kehilangan ulama yang berilmu keislaman luas, bersahaja, dan santun. Dialah Prof Dr H Yunahar Ilyas, Lc, MA, yang dipanggil Allah ke haribaan-Nya di Yogyakarta, Kamis, 2 Januari 2020. Ribuan warga mengantarkan kepergian almarhum untuk selamanya ke Permakaman Karangkajen, yaitu tempat para tokoh Muhammadiyah, termasuk Kiai Haji Ahmad Dahlan, dimakamkan.

Sebuah harian Ibu Kota pun memberitakan kepergian ketua PP Muhammadiyah yang juga wakil ketua umum MUI Pusat itu dengan judul Ulama Moderat itu Telah Pergi. Memang, Buya Yunahar Ilyas, demikian sapaan populer almarhum, termasuk ulama moderat yang dalam terminologi keislaman disebut berpaham wasathiyyah atau Islam tengahan. Sejarah mencatat, Indonesia memiliki ulama besar kelahiran Sumatra Barat yang moderat serta wawasannya melintasi dan progresif. Misalnya saja almarhum Buya Hamka.

Kemudian ada Buya Syafii Maarif yang, alhamdulillah, masih sehat bersama kita saat ini. Akan tetapi, tidak banyak generasi sesudahnya yang mengikuti jejak kemoderatan dua sosok ulama pemikir dan pemimpin yang dikenal tinggi pengkhidmatannya untuk umat dan bangsa itu. Buya Yunahar termasuk yang menyambung mata rantai kedua tokoh Minang yang mena sional dan membuana itu.

Kita memang dapat menyebut tokoh lain, seperti Prof Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim yang juga ulama ahli ilmu keislaman yang berwawasan melintasi, meski jarang dipanggil buya. Ulama dan fi gurfigur tokoh Islam moderat yang berwawasan maju dan melintasi itu sangat diperlukan Islam dan Indonesia hari ini dan ke de pan. Karena itu, meninggalnya Buya Yunahar Ilyas merupakan suatu kehilangan, meski kita ikhlas me lepas karena Allah telah menggariskan ajal ba ginya yang tidak dapat diakhirkan maupun didahulukan.

Islam wasathiyyah

Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan memiliki pijakan kuat pada ayat Alquran tentang ummatan wasatha (QS al-Baqarah: 143). Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan bagian dari ciri khyaira ummah (QS Ali Imran: 110) yang model dan contoh teladan utamanya ialah Nabi Muhammad SAW. Nabi meng ajak umatnya untuk menjadi umat tengahan sebagai umat terbaik dan dilarang untuk ghuluw atau berlebihan (ekstrem) dalam beragama.

Prof Yunahar Ilyas dalam ceramahnya tentang ummatan wasatha atau umat tengahan merujuk pada sikap keagamaan Nabi. Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasul berpesan agar Muadz mengajarkan Islam kepada umatnya yassiru wa laa tua'assiru (mempermudah dan jangan mempersulit) serta basyiru wa laa tunafiru (gembirakan dan jangan dibuat lari).

Kemudian juga melalui kisah Aisyah ketika berhadapan dengan tiga orang yang mengaku sebagai yang terbaik keagamaannya. Yang pertama dia mengatakan selalu berpuasa dan tidak berbuka. Yang kedua selalu shalat malam dan tidak pernah tidur. Sementara yang ketiga tidak menikah karena hanya akan mengganggu ibadah.

Nabi justru menyatakan, Aku yang terbaik di antara kalian. Aku berpuasa dan aku berbuka. Aku shalat malam dan aku tidur. Aku menikah dan mempunyai anak. Nabi akhir zaman itu mempraktikkan Islam wasthiyyah, tidak ekstrem ke arah berlebihan (tatharuf, ghuluw) dan tidak mengurangkan (ithraf).

Menurut Muhammad Hashim Kamali (2015), wasathiyyah sangat selaras dengan konsep keadilan dalam Islam yang berarti memilih posisi di tengah, antara titik-titik ekstrem. Moderasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah rata-rata, inti, standar. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf atau ghuluw yang menunjukkan kecen derungan ke arah pinggiran, ekstrem, radikal, dan berlebihan.

Dalam penggunaan bahasa Arab, wasathiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis, Nabi SAW adalah yang terbaik (wasat) dari keturunan Quraisy. Wasat dalam penggunaan bahasa Arab menandakan superioritas, keadilan, kemurnian, ke muliaan, dan status yang tinggi. Disebutkan dalam Alquran, untuk waktu shalat atau berdoa di tengah (al-salat alwustha, al-Baqarah [2]: 238).

Komunitas Muslim merupakan komunitas perantara (ummatan wasathan, al-Baqarah: 243) dapat diartikan sebagai komunitas terbaik yang diciptakan oleh Tuhan. Seperti yang dijelaskan di dalam Ali 'Imran (3): 110, untuk peng abdi annya dalam mempromosikan kebaikan dan pencegahan akan kejahatan, serta komitmennya untuk membangun bumi dan penegakan keadilan di dalamnya.

Wasathiyyah didefinisikan sebagai sikap yang dianjurkan untuk orang-orang yang memiliki akal sehat dan kecerdasan, yang dapat dibedakan dari keengganannya terhadap ekstremisme ataupun wujud dari sikap yang abai. Hal ini merupakan konsep yang rasional dengan sedikit, bahkan tanpa konotasi dogmatis, tetapi juga memiliki keluhuran agama karena Alquran yang menganjurkannya.

Hal lain, qasd adalah sinonim Arab yang lain dari wasathiyyah atau moderasi. Istilah tersebut diilustrasikan dalam sebuah hadis Jabir bin Samurah yang menyampaikan dari Nabi mengenai caranya biasa berdoa: Saya dulu berdoa dengan Nabi [SAW]; doanya moderat (atau ringan) demikian juga khotbahnya.

 Iqtisad, yang merupakan kosakata dari bahasa Arab yang ditujukan untuk ilmu ekonomi, pada dasarnya menjelaskan moderasi dalam pengeluaran (bahasa Arab: al-iqtisad fi'l-infaq) yang menentang pemborosan dan ketidakpedulian.

Dalam Alquran, menurut Kashimi, istilah wasath dan wustha memiliki sejarah yang lebih panjang dan beberapa sinonimnya juga muncul di dalam hadis. Dalam sebuah hadis disebutkan, Seseorang yang moderat (dalam pengelolaan keuangannya) tidak akan menderita dari kekurangan (kemiskinan).

Qasd juga berarti apa yang benar, seperti dalam ayat, Tunjukkan kami jalan yang benar (qasd). (QS al-Nahl, 16: 9). Qasd, yang sering muncul di dalam Alquran, didefinisikan seba gai moderasi dan ekuilibrium al-tawassut wa'li tidaldalam semua urusan sehingga identik dengan wasathiyyah.

Wasathiyah Islam juga telah menjadi paradigma Islam Indonesia dan dunia. Dalam Deklarasi Bogor 2018 ditegas kan, Menguatkan paradigma wasatiyyat lslam sebagai ajaran Islam pusat yang meliputi 7 (tujuh) nilai utama yaitu: tawassut, posisi di jalan tengah dan lurus; i'tidal, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab.

Tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Syura, mengedepankan konsultasi dan menyele saikan masalah melalui musya warah untuk mencapai konsensus. Islah, terlibat dalam tindak an yang reformatif dan konstruk tif untuk kebaikan bersama. Qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Muwatonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement