Jumat 10 Jan 2020 13:59 WIB

Becermin Kasus Reynhard, Perlunya Pendidikan Seks Sejak Dini

Masyarakat Indonesia masih tabu terhadap pendidikan seks.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Muhammad Hafil
Becermin Kasus Reynhard, Perlunya Pendidikan Seks Sejak Dinii. Foto: Ilustrasi pendidikan seks pada anak.
Foto: danburrell.com
Becermin Kasus Reynhard, Perlunya Pendidikan Seks Sejak Dinii. Foto: Ilustrasi pendidikan seks pada anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti menilai perlunya pendidikan seks sejak dini kepada anak perempuan dan laki-laki. Hal ini untuk mencegah terjadinya penyimpangan seksual yang mengarah kepada kekerasan seksual seperti kasus Reynhard Sinaga.

Menurut Retno, kekerasaan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan marak terus terjadi karena budaya masyarakat Indonesia yang masih 'tabu' pendidikan seks sejak dini.

Baca Juga

"Ketika memandikan anak di usia balita, kita bisa mulai mengajarkan bahwa ada bagian di tubuh anak yang tidak boleh dilihat apalagi disentuh siapapun, kecuali dirinya sendiri," ujar Retno saat dihubungi wartawan, Jumat (10/10).

Retno mengatakan, orang tua juga bisa mengajarkan kepada anaknya agar berani melaporkan jika ada pihak  yang mau melihat atau menyentuh bagian tersebut.

Ia melanjutkan, begitu pun saat mulai sekolah, orang tua harus mengajarkan anak untuk membedakan sentuhan yang dibolehkan dan yang tidak. Menurutnya, sentuhan yang tidak boleh dilakukan adalah ketika seseorang menyentuh atau memeluknya tangan yang bersangkutan dan menyentuh bagian yang justru tidak boleh disentuh atau yang kalau kita memakai baju renang, bagian itu ditutupi.

"Ini berlaku pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Ketika anak beranjak remaja, maka pendidikan seks mulai ditingkatkan," ujar Retno.

Selain itu, ia juga menilai perlunya memberikan anak pendidikan kesehatan reproduksi dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka budaya dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi ilmiah akurat, realistis, dan tidak bersifat menghakimi.

"Sehingga remaja dapat mengeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri, serta melatih kemampuan pengambilan keputusan, komunikasi dan ketrampilan penekanan resiko di semua aspek seksualitasnya, misalnya, ketika anak mulai punya pacar," ujar Retno.

Tak lupa, Retno juga menilai perlunya pemaksimalan peran sekolah dalam edukasi seks dini tersebut. Menurutnya, aturan sekolah harus memiliki batas-batas yang tegas dari perilaku yang tidak diterima, misalnya anak harus diedukasi bahwa ada bagian ditubuhnya yang tidak boleh dilihat (apalagi disentuh) oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.

"Tekankan bahwa kalau ada yang berani menyentuh, harus dilaporkan. Sistem pengaduan harus dibangun, karena banyak terjadi kekerasan di sekolah yang justru di lakukan guru, orang yang seharusnya melindungi anak," ujarnya.

Ia juga menyingung adanya Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan kekerasan di sekolah yang perlu dipahami pihak sekolah, kepala sekolah dan para guru.

Sebab menurutnya, saat KPAI menangani berbagai kasus kekerasan fisik maupun kekerasan seksual di sekolah, banyak guru dan kepala sekolah tidak pernah tahu ada Pemendikbud 82/2015.

Dalam Permendikbud tersebut, ada definisi lengkap tentang kekerasan terhadap anak ada di dalam Permendikbud tersebut. Bahkan ada penjelasan juga untuk membedakan antara pelecehan,pencabulan dan pemerkosaan (ada penetrasi) untuk kekerasan seksual. 

"Karena definisinya sangat jelas maka Permendikbud ini pun mampu memberikan sanksi yang jelas dan adil; Sayangnya Permendikbud ini banyak tidak diketahui apalagi dipahami oleh para guru dan kepala sekolah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement