REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Ketua Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) Firli Bahuri muncul dalam sidang kasus dugaan suap 16 paket proyek jalan senilai Rp 132 miliar dengan terdakwa Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani. Kuasa hukum terdakwa, Maqdir Ismail, mengatakan, nama Firli muncul dari penyadapan KPK atas terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu Kepala Bidang Pembangunan Jalan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim, Elfin Muchtar.
"BAP (berita acara pemeriksaan) hanya menerangkan percakapan antara Elvin dan kontraktor bernama Robi. Dalam percakapan itu, Elvin akan memberikan sejumlah uang ke Firli Bahuri. Sementara, Firli tidak pernah dimintai konfirmasi apakah benar dia menerima uang atau tidak," ujar Maqdir di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Palembang, Selasa (7/1).
Dalam sidang kedua dengan agenda membacakan ekspresi tersebut, Maqdir menegaskan, Ahmad Yani tidak berniat meminta commitment fee sebesar Rp 22 miliar dari kontraktor Robi Pahlevi yang berstatus terdakwa. Maqdir menyebut fee tersebut merupakan inisiatif Elvin yang mengatur jalannya 16 paket proyek senilai Rp 132 miliar, termasuk upaya memberikan 35 ribu dolar AS kepada Firli Bahuri yang saat itu menjabat kepala Kepolisian Daerah Sumatra Selatan.
Maqdir mengatakan, Elvin memanfaatkan silaturahim antara Firli dan Ahmad Yani untuk memberikan uang senilai 35 ribu dolar AS. Uang itu diperoleh dari terdakwa Robi. Elvin lantas menghubungi keponakan Firli Bahuri, yakni Erlan. Ia memberi tahu bahwa ingin mengirimkan sejumlah uang kepada Firli Bahuri. "Tetapi, kemudian dijawab oleh Erlan, ‘Ya, nanti diberitahu, tapi biasanya Bapak tidak mau,’" kata Maqdir.
Maqdir mengatakan, percakapan itu ternyata disadap oleh KPK. Tetapi, KPK justru tidak memberitahu kepada kepala Polri bahwa Firli yang masih menjabat sebagai kapolda Sumatra Selatan akan diberi sejumlah uang oleh seseorang.
"Sepatutnya upaya pemberian uang itu diketahui kapolri, kan sudah ada kerja sama supervisi antara KPK dan Polri. Meski demikian, tidak juga terbukti bahwa Kapolda menerima uang itu," kata Maqdir. Selain menyebut dakwaan tidak tepat, Maqdir menuding BAP dan dakwaan terhadap Ahmad Yani juga bermaksud menjatuhkan citra Firli Bahuri yang pada saat itu mengikuti kontestasi calon ketua KPK.
Mendengar eksepsi tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Roy Riadi mengaku terkejut karena pertemuan-pertemuan tersebut tidak pernah terungkap kecuali bukti percakapan antara Robi dan Elvin. "Sejujurnya, kami baru tahu ada pertemuan itu. Tapi, itu kan pengakuan Elvin yang diceritakan penasihat hukum Ahmad Yani," kata Roy.
Roy mengatakan, penyadapan yang kemudian menyeret nama Firli termasuk bagian dari penyelidikan. "Pak Kapolda juga saya rasa tidak minta uang karena bisa jadi yang diberi uang itu tidak tahu bahwa mereka akan diberi uang. Kalau dari keterangan si pemberi uang, ya, sah-sah saja," kata Roy.
Kendati menyeret nama Ketua KPK, JPU KPK tetap pada dakwaan yang menjerat Ahmad Yani dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. "Eksepsi akan kami jawab terkait keberatan dakwaan saja, soal lain-lain itu nanti saja," kata Roy.
Menanggapi hal tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan tidak pernah menerima pemberian dari pihak mana pun. "Saya tidak pernah menerima apa pun dari siapa pun," kata Firli saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (7/1). Firli memastikan bakal menolak pemberian apa pun dari pihak mana pun yang ditujukan kepada dirinya dan keluarga.
"Saya pasti tolak. Keluarga saya juga pasti menolak, termasuk saat saya jadi kapolda Sumsel. Saya tidak pernah menerima sesuatu," kata dia. n dian fath risalah/antara, ed: ilham tirta