Senin 06 Jan 2020 16:02 WIB

Soal Natuna, Kiai Said: Kita tak Boleh Haha-Hehe

Pemerintah harus tegas menyikapi pelanggaran batas wilayah oleh kapal China.

Rep: Muhyiddin/ Red: Teguh Firmansyah
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).
Foto: ANTARA FOTO
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar saat melakukan patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PBNU, Prof. KH. Said Aqil Siraj meminta Pemerintah Indonesia tegas menyikapi pelanggaran batas wilayah oleh kapal Cina di perairan Natuna. Karena, menurut Kiai Said, pelanggaran itu sudah menyangkut harga diri dan kehormatan bangsa Indonesia.

"Yang kita minta pemerintah tegas, tidak boleh lembek, tidak boleh //haha-hehe//," ujar Kiai Said saat menyampaikan sikap resmi NU terkait kasus Natuna di Kantor PBNU, Jakarta Pusat,  Senin (6/12).

Baca Juga

Kiai Said mengatakan, NU juga mendesak pemerintah China berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, yaitu United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982. "Keputusan PBB tahun 82 itu menyatakan bahwa itu wilayah kita," ujar Kiai Said.

Menurut dia, kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994. Karena itu, tindakan Coast Guard  China mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna adalah bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Sebagaimana diketahui, Filipina sebelumnya juga telah memperkarakan Cina atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan Cina pada 2013.

Kemudian, Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial Cina atas laut Selatan Cina tidak memiliki dasar hukum. Namun, Beijing menolak keputusan tersebut. 

"Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi Internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia. Karena itu, NU mendukung sikap tegas pemerintah RI terhadap Cina," kata Kiai Said.

Meskipun Cina merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, lanjut Kiai Said, NU meminta Pemerintah Indonesia tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi.

Menurut dia, keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun.

"Dalam jangka panjang, NU meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik," jelas Kiai Said.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement